Simalungun, Aloling Simalungun
Sesepuh Masyarakat Simalungun, Dr. Sarmedi Purba, SpOG, yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Pemangku Adat dan Cendikiawan Simalungun (DPP-PACS) mengingatkan pemerintah mengenai ancaman eskalasi konflik horizontal di tengah masyarakat terkait dengan narasi di ruang publik khususnya klaim sepihak tanah adat di Simalungun.Demikian disampaikan Dr.Sarmedi Purba Jumat (2/10/2025)
Dalam kesempatan lain, Direktur Eksekutif NCBI, Juliaman Saragih, menyatakan Presidium Pemangku Adat dan Cendekiawan Simalungun (PACS) bersama Aliansi Masyarakat Simalungun telah melaporkan Saudara Bane Raja Manalu (A-161/F.PDIP/Dapil Sumut III) ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI dalam dugaan pelanggaran kode etik atas pernyataan yang tidak berdasar, dan berpotensi menimbulkan eskalasi konflik horizontal.
Mengutip Sinata.id, “Bane menyebut, masyarakat adat Lamtoras telah memiliki registrasi wilayah adat yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan, masyarakat di Huta Aek Batu sudah menempati lahan tersebut sejak tahun 1800-an. Bahkan dari tahun 1800-an, Negara lewat Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup sebenarnya telah memberikan registrasi wilayah adat di tempat ini. Hanya saja, sampai sekarang mereka belum secara resmi diberi hak untuk mengelolanya,” kata politikus PDI Perjuangan ini.
Putra kelahiran Kabupaten Simalungun ini mengatakan, masyarakat Sihaporas telah diberikan lahan sekitar dua ribu hektar untuk dikelola sesuai registrasi wilayah adat yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. “Ada sekitar 2.000 hektar yang masuk dalam registrasi wilayah adat. Dan mereka (masyarakat) berkomitmen 1.500 hektar akan dikembalikan fungsinya sebagai hutan. 500 hektar diantaranya, itulah yang digunakan untuk menghidupi mereka dan keturunannya.
Mereka hanya butuh hidup, bukan untuk kaya raya. Lantas, negara harus hadir dan adil untuk masyarakat,” ucapnya. Saat ini, lanjutnya, masyarakat tak dapat mengelola lahan karena akses mereka diputus._ (26/09/25).
Pernyataan Bane Raja Manalu, Anggota DPR-RI Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP), telah dibantah oleh Direktur Penangan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), Kementerian Kehutanan, yang menegaskan, “Bahwa (Tanah) Hutan Adat di Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara belum ada diterbitkan SK Menteri Pengakuan Hutan Adat, Karena belum ada Perda Hutan Adat di Kabupaten Simalungun (Sinata.Id, 27/09/25).
“Ini berbahaya. Klaim tersebut mencederai sejarah peradaban Simalungun dan eksistensi hukum adat Simalungun”. Tanah adat merupakan warisan leluhur yang hanya dapat dikelola oleh keturunan asli untuk ditinggali dan dimanfaatkan dengan baik. Karena itu, kelompok dari luar tidak bisa sembarangan mengklaim tanah adat hanya karena menempatinya belakangan.
Ditegaskan lagi, kami, suku Simalungun, sangat terganggu bahkan tersinggung dengan pernyataan anggota DPR Fraksi PDIP dan sekelompok masyarakat yang mengaku memiliki Tanah Adat Komunitas Lembaga Adat Keturunan Pomparan Ompu Manontang Laut Ambarita Sihaporas (LAMTORAS) di Nagori Sihaporas, Pematang Sidamanik, Simalungun.
Bahwa sejarah adanya marga Ambarita dalam wilayah Nagori Sihaporas berasal dari Samosir, dimana Ompu Manontang Laut Ambarita datang dari Samosir ke wilayah Sihaporas–Sipolha, Simalungun, dan oleh Opung Parmata Manunggal Damanik yang merupakan Tuan Sipolha _(wilayah Kerajaan Siantar marga Damanik),_ memberikan perkampungan dan perladangan kepada Ompu Manontang Laut Ambarita untuk menjadi pemukiman/perkampungan dan mengelola sebagai tempat pertanian. Bukan menjadi tanah adat/tanah ulayat dari marga Ambarita.(rel)