Simalungun, Aloling Simalungun
Jaksa Agung ST. Burhanuddin telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan keadilan restoratif atau penyelesaian tindak pidana di luar pengadilan.
Dalam perkara perdata, keadilan restoratif dikenal dengan istilah mediasi.
Kepada Aloling Simalungun Sabtu (19/9/2020) Praktisi Hukum Siantar Simalungun Sepri Ijon Maujana Saragih,S.H.,M.H mengatakan Peraturan Kejaksaan yang diterbitkan itu patut diapresiasi sebagai sikap Kejaksaan yang menjadi representasi keadilan bagi masyarakat kecil dan sekaligus menjawab berbagai problematika lain seperti penumpukan beban perkara di pengadilan dan dilemaover capacity di pengadilan.
“Peraturan Kejaksaan RI No.15 tahun 2020 harus diapresiasi sebagai sikap Kejaksaan yg menjadi representasi keadilan bagi masyarakat, khususnya problematika tingginya secara kuantitatif kasus ke pengadilan,” ungkap Advokat yang akrab dipanggil Sepri Ijon.
Sepri Ijon berpandangan, Peraturan tersebut sesuai dengan KUHAP yang lebih mengedepankan pendekatan penegakan keadilan restoratif dan penyelesaian perkara di luar pengadilan pidana sehingga tidak menuggu sampai ke meja hijau persidangan.
“Peraturan Kejaksaan ini memang sesuai konsep KUHAP ke depan, yaitu adanya pergeseran paradigma ke arah pendekatan keadilan restoratif dan adanya Afdoening Buiten Process, menyelesaikan perkara diluar pengadilan, sehingga Jaksa dapat menghentikan perkara demi kepentingan hukum, walaupun memang ada persyaratan jenis dan ancaman delik,” urainya.
Sepri Ijon, yang juga dosen muda Fakultas Hukum USI Pematangsiantar itu berpendapat dengan kebijakan peraturan itu juga bisa menyelesaikan masalah secara seimbang antara pelaku dan korban yang terlibat dalam suatu perkara yang berujung pada perdamaian antara satu sama lain.
“Peraturan Kejaksaan ini memberikan dan mempertimbangkan basis equal and balances antara Pelaku, Korban, Masyarakat dan Negara, sehingga keadilan restoratif yang menjadi kebijakan Kejaksaan.” Tandasnya.
Sepri Ijon juga menyatakan selama bertahun-tahun penegak hukum khususnya Kejaksaan harus mengalami dilema dalam proses penegakan hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Mulai dari perkara kecil yang harus dibawa ke meja hijau, perkara dengan kerugian kecil hingga keinginan korban yang ingin berdamai namun tidak terakamodir dalam peraturan berlaku. “Bertahun-tahun lamanya kita harus membawa perkara kecil ke pengadilan. Perkara yang sebenarnya tak menimbulkan kerugian besar,” kata Sepri Ijon.
Lanjut Sepri Ijon, dengan adanya aturan yang terdiri atas 17 pasal tersebut, sekarang jaksa penuntut umum (JPU) berhak menghentikan penuntutan terhadap terdakwa dalam kasus-kasus tertentu. Dengan catatan, antara terdakwa dan korban menemui kesepakatan untuk berdamai dan sepakat tidak akan saling menuntut.
Aturan ini menjadi penting, khususnya untuk kasus-kasus yang menjerat masyarakat kecil, miskin dan termarjinalkan dalam proses penegakan hukum. Sepri Ijon mencontohkan kasus kakek Samirin yang didampingi dan dibelanya kala itu harus diadili dan ditahan di dalam penjara hanya karena mencuri 1,9 kg getah karet milik PT Bridgestone yang setara dengan Rp.17.480. Seandainya waktu itu sudah ada aturan ini, tentu kakek Samirin tidak perlu harus ditahan dan hingga diadili di meja hijau pengadilan negeri Simalungun, kenangnya.
“Hingga perkara diputus, terlalu banyak kerugian dalam mengadili perkara-perkara kecil seperti itu. Mulai dari penumpukan beban perkara, penjara menjadi penuh, hingga nasib tak tentu anak-anak dan keluarga yang ditinggal terdakwa,” bebernya.
Menurutnya, ketidakefisienan penegakan hukum itu justru menyengsarakan masyarakat. Untuk itulah perlu terobosan hukum. Pasal 3 Peraturan Kejaksaan RI No 15 Tahun 2020 menyatakan penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum. Yang dimaksud kepentingan umum itu meliputi terdakwa meninggal, kedaluwarsanya penuntutan pidana, dan telah ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap terhadap seseorang atau perkara yang sama.
Sementara Pasal 4 menyatakan penghentian penuntutan dilakukan atas kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi. Lalu, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, respon dan keharmonisan masyarakat, serta kesusilaan dan ketertiban umum. Adapun syarat penutupan tindak pidana dalam aturan Jaksa Agung ini meliputi :
1. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana,
2. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari lima tahun, dan
3. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian tidak lebih dari Rp 2,5 juta.(rel)
Discussion about this post