P.Siantar, Aloling Simalungun
Apabila Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 1979 tidak juga direvisi, Pemko Siantar melalui Walikota berpotensi digugat karena ada indikasi tidak menghormati etnis Simalungun sebagai “Simada Talun” Kota Siantar.
Demikian dikatakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun (DPP-Himapsi) Rado Damanik kepada Aloling Simalungun Kamis (14/10/2020).
Rado Damanik mengatakan, Perda Nomor 6 tahun 1979 terkesan mengabaikan keberadaan etnis Simalungun. Pasalnya, dalam Perda tersebut tidak jelas mencantumkan budaya Simalungun.
“Saya sudah mencermati Perda 6 tahun 1979 itu, memang ada kalimat yang mengatur budaya daerah. Tapi, budaya daerah itu tidak mengatur secara jelas budaya daerah yang mana.
Supaya lebih tegas dan tidak multi tafsir, budaya daerah itu diganti menjadi budaya Simalungun,” ujar Rado Damanik.
Dikatakan Rado Damanik masalah itu sudah disampaikannya saat Publick Hearing pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Cagar Budaya yang dilakukan Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Siantar di ruang gabungan Fraksi DPRD Siantar, Selasa tanggal 6 Oktober 2020.
Ditegaskan Rado Damanik terkait dengan revisi, sudah ada draf yang diusulkan Himapsi terkait soal perlindungan dan pelestarian budaya Simalungun secara tertulis. Bahkan, sudah disampaikan kepada DPRD Siantar.
Dalam usulan Perda tersebut dicantumkan beberapa point, seperti, budaya yang wajib dimuat dalam Perda untuk dibahas, tata cara pelantikan pejabat pemerintahan, BUMN, BUMD.
Himapsi mengusulkan supaya kegiatan budaya Simalungun dimasukkan dalam agenda acara kegiatan yang dinamakan “Patappei Sihilap”.
Filosofinya, sebagai bentuk pemberian semangat spritual kepada pejabat yang dilantik agar bekerja dengan sungguh-sungguh dan menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku.
Selanjutnya penyambutan tamu ke Kota Siantar, baik dari pemerintah BUMN, BUMD dilakukan dalam bentuk budaya Simalungun. Seperti tarian Simalungun Tortor Sombah dan bela diri tradisional Simalungun atau Dihar Simalungun.
Maknanya menunjukkan bahwa suku Simalungun selalu terbuka dan menghormati tamu tamu yang datang, bahkan siap melakukan pengawalan agar terhindar dari gangguan.
Selanjutnya, penggunaan bahasa Simalungun dipemerintahan, karena bahasa daerah sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia merupakan aset yang perlu dilestarikan.
Demikian juga penggunaan pakaian adat Simalungun dan peran pemerintahan.
“Penggunaan bahasa Simalungun di pemerintahan dan penggunaan pakaian adat Simalungun kita usulkan agar diberlakukan sehari dalam seminggu dan itu banyak diberlakukan di kota-kota di Indonesia,” ujarnya.
Hal lain yang cukup krusial, terkait pencantuman motto “Sapangambei manoktok hitei” agar dicantumkan dalam lambang kota Siantar sebagai simbol yang menjadi ciri khas daerah.
Filosofinya secara umum, bergotong-royong atau bekerja sama yang baik, sehingga, menunjukkan bahwa masayarakat Kota Siantar memiliki jiwa kerjasama.
Demikian juga dengan penyertaan ornamen Simalungun di setiap bangunan yang sebenarnya sudah ada tetapi dalam penilaian Himapsi perlu dilakukan perubahan untuk mengikuti perkembangan zaman.
“Hal lain yang juga kita usulkan dalam Perda yang kita minta terkait pelaksaaan Pesta Rondang Bintang setiap tahun sebagai tradisi masyarakat Simalungun.
Maknanya sebagai bentuk ungkapan kegembiraan dan rasa syukur atas berkat dan rahmat Tuhan Yang maha Esa. Dan, itu juga sangat mendukung sector pariwisata,” ujarnya.
Pengusulan poin-point tersebut dikatakan Rado Damanik sebagai upaya perlindungan dan pelestarian budaya Simalungun. Dasar hukumnya dikatakan mengacu pasal 18 ayat 6, pasal 32 ayat 1 dan ayat 2 UU NRI tahun 1945. UU No. 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan.
Kemudian, ada UU No. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. UU No 5 tahun 2019 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya ada Peraturan Presiden No 65 tahun 2018 tentang cara penyusunan pokok pikiran kebudayaan daerah dan strategi budaya.
“Jadi, sudah jelas, Perda Nomor 6 tahun 1979 harus direvisi, kalau Perda tidak direvisi, kita siap menggugat Walikota karena mengabaikan budaya Simalungun.
Perda itu boleh saja mengacu kepada Perda Kabupaten Simalungun No 7 tahun 2006. Kalau itu tidak dilakukan, budaya Simalungun di Kota Siantar tidak akan diakui pemerintah pusat,” pungaks Rado Damanik.(tp)
Discussion about this post