KETIKA seseorang sering dan selalu berinteraksi, maka biasanya dia akan kehilangan sensitifitas. Begitu pertamakali seseorang berkunjung ke Kota Turis Perapat, maka ia akan terenyuh menikmati indahnya panorama Danau Toba yang sejuk temaram.
Biaya mahal bayar ongkos berkunjung terasa terbayar dengan pemandangan tersebut.
Lalu bagaiman dengan penduduk Parapat itu sendiri, seperti para pedagang buah atau penjaja makanan yang kian ke sana ke mari.
Mereka biasa saja, seolah tak ada hal yang istimewa dengan kota tersebut.
Seseorang yang baru pertama kali mengunjungi Ka’bah untuk Ibadah Haji atau Umrah, biasanya ketika ia melihat Ka’bah ia menangis dan tak hendak beranjak dari Masjidil Haram.
Ia terus memandangi batu tua bangunan Nabi Ibrahim AS, tempat menyatukan arah kiblat shalat umat Islam.
Dengan uang puluhan juta rupiah biaya ke sana seolah tak ada apa–apanya dibanding kepuasan berada di sekitar Ka’bah.
Dan hal itu ia ikhlaskan dengan sepenuh hati.
Dan semua umat Islam tahu, bahwa ibadah di Masjidil Haram memiliki nilai besar di hadapan Allah SWT.
Sehingga mengunjunginya dan beribadah di dalamnya menjadi dambaan dan cita- cita semua umat Islam.
Lalu coba kita lihat para pedagang di sekitaran Masjidil Haram, benar mereka menutup toko dagangannya ketika azan berkumandang memanggil umat untuk shalat fardhu.
Namun apakah mereka beranjak shalat masuk ke Masjidil Haram, Tidak! Mereka shalat di depan toko mereka.
Bagi kita butuh puluhan juta untuk shalat di Masjidil Haram, bagi mereka dengan merangkak (ngesot : bhs Jawa) pun bisa. Namun mengapa mereka tidak mau melakukannya? Jawabannya mereka terlalu sering berinteraksi dengan Ka’bah, sehingga mereka kehilangan sensitifitas.
Mereka menganggap, bahwa hal itu biasa- biasa saja dan seolah tak ada yang berbeda, mereka kehilangan rasa nilai terhadap ibadah di dalam Masjidil Haram.
Boleh jadi kita semua sudah sangat sering berinteraksi dengan Ramadhan, sudah puluhan kali barangkali, yang kita khawatirkan seperti deretan peristiwa yang kita tulis di atas.
Kita juga kehilangan sensitifitas terhadap bulan Ramadhan yang Allah SWT muliakan ini.
Ramadhan hadir kita masih menganggap seperti bulan- bulan Ramadhan yang lalu atau bahkan seperti layaknya bulan- bulan yang lain selain Ramadhan.
Kita masih beranggapan Ramadhan bulan ampunan, bulan barokah, bulan terbelenggunya syaithan, tertutupnya pintu neraka dan terbukanya pintu surga.
Lalu ampunan yang mana hendak kita gapai, barokah mana yang hendak kita rengkuh dan syaithan mana yang dibelenggu? Jika kita masih berkutat pada aktifitas yang jauh dari hal itu.
Shalat wajib belum berubah menjadi lebih khusyu’, tetangga yang lapar masih belum tersentuh bantuan kita, anak yatim belum kita perhatikan, bacaQur’an sebatas kalau ada kesempatan.
Ngrumpi dan menggunjing masih jadi hobby, benar syaithan dibelenggu, tapi justeru kita yang mewakili dan melanjutkan aktifitas Syaithan tersebut.
Kalau sudah begitu, lalu surga mana yang terbuka pintunya?
Maka marilah kita tetap menjaga sensitifitas kita terhadap kehadiran Ramadhan ini. Kita belum tahu bagaimana perjalanan langkah hudup kita ke depan.
Jangan- jangan Ramadhan ini Ramadhan terakhir yang dapat kita temui dalam hidup kita. Untuk itu mari kita isi dengan segenap kemampuan untuk beribadah kepadaNya. Semoga (***)
Asmen,S.Pd,MM : Pengawas SMK Kemendikbud Provinsi Sumatera Utara dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Dolok Maraja, Tapian Dolok, Simalungun.
Discussion about this post