“SUDAH Pak Mus duduk saja pak sambil ngobrol dengan bapak- bapak yang lain, biar kami yang muda- muda ini saja yang menyelesaikan tugas ini, pak “ kata seorang anak muda saat hendak menghidang makanan di acara Perwiritan malam itu.
Ketika salah seorang jamaah yang sudah berusia setengah baya ingin ikut campur membantu menghidang. Orang yang disebut Pak Mus tersebut adalah salah seorang tokoh masyarakat dan termasuk orang yang dihormati di kota ini.
Namun sudah menjadi kebiasaannya, ketika memasuki acara makan- makan atau jeda, beliau selalu “kedutan ingin cawe-cawe” ( Jawa : tak sabar ingin ikut bantu-bantu) dan tidak tenang rasanya bagi beliau kalau tak ikut bantu, baik di acara perwiritan, acara kenduri maupun acara lainnya.
Ternyata hal tersebut merupakan kebiasaan lama sejak kecil, sejak beliau masih di Sekolah Dasar atau SD. Beliau anak kedua dari empat bersaudara dengan si sulung seorang perempuan yang baru duduk di kelas I SLTP. Mereka saat itu tinggal di Perusahaan Perkebunan Pemerintah dan ayah mereka seorang buruh kasar pada perusahaan tersebut .
Tak tahu bagaimana ayah mereka meninggal dunia, yang mereka tahu beberapa bulan ayah :mereka sakit. Kepergian ayah mereka menjadi pukulan berat bagi keluarga, saat Mus baru duduk di kelas IV , satu adiknya di kelas I dan yang terkecil belum sekolah.
Ekonomi keluarga saat itu betul- betul gonjang –ganjing. Kondisi ekonomi masyarakat juga pada saat itu sangat susah, bahkan masyarakat hampir tidak dapat membeli beras, diantara mereka banyak yang mengkonsumsi jagung “ampok” ( Jawa jagung giling yang dimasak dicampur kelapa parut). Kondisi tersebut sungguh sangat sulit untuk mengharapkan bantuan orang lain, karena masing- masing keluarga memikirkan keadaan mereka yang sedang kesulitan.
Nasib baik, perusahaan menerima mama mereka bekerja pada perusahaan tersebut menggantikan posisi ayah mereka, meski penghasilan tidak sebesar yang diterima ketika ayah mereka masih hidup dan bekerja pada saat itu.
Yang paling menakjubkan adalah, tidak pernah mama mereka mengeluh atau menangis dalam menjalani keseharian hidupnya, meski mama mereka sudah banting setir untuk memenuhi kebutuhan perut lima orang dalam keluarga tersebut.
Kerut wajah letih selalu menyelimuti keseharian wanita tua tersebut, namun selalu menyisakan senyum kepada anak- anaknya. Tidak banyak kata yang meluncur dari mulutnya, kecuali ansihat- nasihat ringan untuk selalu berbuat baik. Pesan singkatnya selalu mengguratkan ketabahan agar dalam kondisi apapun dilarang mencuri dan menyusahkan orang lain.
Dan ketika tiba jadwal makan , orangtua kurus itu selalu belakangan dan mempersilakan semua anaknya untuk segera makan, dengan kata lain yang ia makaan adalah makanan sisa- sisa anaknya.
Kondisi makanan mereka juga apa adanya. Memang kadang merasa kasihan, sebagai “single parent”, mungkin di hati ingin mencari pendamping pengganti, namun keinginan itu di tepis ketika melihat anak- anak yang begitu banyak dan sudah beranjak dewasa, pasti akan menjadi masalah bagi bapak sambung nantinya.
Bisa jadi pertengkaaran kecil akan segera melebar yang menimbulkan penyesalan.
Dalam kondisi seperti itu, Mus kecil mencari jalan keluar membantu orangtua tunggalnya untuk sekedar menolong kedua adiknya yang selalu merasa kelaparan akibat kurangnya makanan di rumah mereka. Di setiap kesempatan ada kesibukan tetangga, ia selalu berusaha membantu, dengan harapan mendapat upah untuk kedua adik kecilnya.
Terutama jika ada orang yang hendak pesta, maka sepulang sekolah dia sudah berada di sana untuk bantu-bantu yang bisa dilakukannya.
Mulai dari cuci piring sampai menghidang. Demikian pula jika ada wirit malam Jum’atan atau kenduri khitanan, kirim do’a istilah awam. Dia sudah dapat dipastikan hadir dan bantu di sana. Dia juga tidak mau menerima pemberian gratis atau cuma- cuma.
Biasanya pemilik rumah tahu berterimakasih kepadanya dengan memberinya satu atau beberapa bungkus makanan pesta atau jeda wiritan.
Makanan tersebut dibawanya pulang dan diberikannya kepada kedua adiknya untuk dimakan.
Ia merasa sangat puas dan bahagia ketika kedua adiknya sudah merasa kenyang. Terbukti makanan tersebut selalu saja tersisa atau disisakan oleh kedua adiknya, yang mungkin juga memiliki perasaan untuk berbagi.
Nah, kebiasaan kecil yaitu suka membantu yang sederhana ini ternyata menjadi kebiasaan pula bagi Mus saat beliau sudah tua dan sudah menjadi orang penting.
Namun baginya hal tersebut tidak akan mengurangi marwahnya dalam hidup ini. Untuk itu ia akan terus lakukan, meski tidak sedikit orang tidak setuju dengan itu.
Yang pasti menolong anak yatim merupakan tanggung jawab kita semua. Menurut Rasul SAW, bahwa anak yatim adalah anak- anak kita yang kita titipkan kepada ibu- ibu mereka.
Menelantarkannya merupakan dosa besar dan kita danggap sebagai pendusta agama.
Untuk itu, sudah saatnya kita inventarisir mereka, lalu kita bantu dan santuni mereka, kita sapa mereka.
Mereka rindu seperti anak- anak orang lain yang selalu dituntun dan dibimbing oleh ayah- ayah mereka menuju tempat wisata, taman bermain, atau ngabuburit di Ramadhan.
Sungguh saya tidak bisa bayangkan jika yang menjadi anak yatim itu adalah anak saya.
Yang kehilangan bapak adalah anak saya, yang merindukan belaian itu seandainya anaka saya. Linang air mata ini taka da gunanya.
Jika ekskusi untuk memberi santunan tidak goyang juga saku anda. Karena mereka tidak butuh lagi air mata, bahkan air mata mereka sudah habis dibuang tak dibutuhkan lagi. (Seperti diceritakan Sudarlian kepada Penulis)
Asmen : S.Pd.,MM : Pengawas SMK Kemendikbud Sumatera Utara dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Dolok Maraja
Discussion about this post