SEBAGAI salah satu rumpun Batak, bahasa Simalungun ternyata belum menjadi “tuan” di tanah leluhur seperti Kabupaten Simalungun dan Kota Siantar. Kalau dibiarkan, bukan mustahil hilang dari muka bumi. Sama nasibnya seperti bahasa daerah lain di Indonesia yang telah lebih dulu punah.
Padahal, bukankah bahasa menunjukkan identitas atau karakter suatu kaum? Kalau identitas itu hilang berarti kebersamaan persaudaraan atau kebanggaan sesama etnis merenggang. Kemudian, rumpunnya tidak dikenal lagi sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku atau etnis dengan bahasa masing-masing.
Berbeda dengan bahasa daerah lain di Indonesia seperti Aceh, Minang, Sunda, Jawa maupun banyak daerah lain di Indonesia karena di daerahnya memiliki kata pengantar bahasa daerah. Sehingga, saat mereka berada di perantauan langsung saling mengenal dan solidaritas atau persaudaraan semakin meningkat.
Kemudian berbeda juga dengan bahasa daerah khususnya di Sumatera Utara. Misalnya, Karo, Toba, Humbang, Pakpak, Mandailing, Sipirok maupun bahasa lain non Batak seperti Nias maupun Melayu pesisir serta bahasa etnis daerah lain.
Kalau dicermati lebih jauh lagi, kondisi bahasa Simalungun sedang mengalami erosi dan itu terjadi karena beberapa faktor penting yang sebenarnya kelihatan jelas sebagai suatu fakta.
Di antaranya, Kabupaten Simalungun termasuk kota Siantar sebagai “Tano Hasusuran” etnis Simalungun, dihuni beragam suku budaya. Kemudian, etnis Simalungun bukan mayoritas. Sehingga, penggunaan bahasa daerah tidak menyeluruh di setiap kecamatan.
Bahkan, beberapa kecamatan tidak menggunakan bahasa Simalungun dalam pergaulan sosial dan yang digunakan justru bahasa non Simalungun atau bahasa Indonesia.
Hal itu tampak di sekitar kecamatan yang berbatasan dengan kabupaten Tobasa, Karo maupun di kecamatan lain yang justru didominasi suku non Simalungun.
Demikian juga di Kota Siantar yang sejarahnya merupakan tanah leluhur etnis Simalungun.
Faktor lain, terjadinya erosi penggunakan bahasa leluhur etnis Simalungun, fanatisme orang Simalungun khususnya yang keluarganya asli etnis Simalungun masih menipis, dan ada yang enggan menggunakan bahasa ibu.
Artinya, orang Simalungun terkesan kurang memahami betapa pentingnya pengggunaan bahasa daerah dibanding dengan etnis non Simalungun lain khususnya di Sumatera Utara yang berasal dari rumpun Batak.
Belum lagi soal perkawinan silang antara etnis Simalungun dengan non etnis Simalungun yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar. Sehingga, jarak anak dan keturunannya dengan bahasa tersebut semakin jauh.
Karena kondisi itu, pantas generasi muda etnis Simalungun tidak menggunakan bahasa Simalungun dalam pergaulan sehari-hari meski masih sama-sama etnis Simalungun. Yang digunakan justru bahasa non Simalungun atau malah menggunakan bahasa daerah non Simalungun. Termasuk menggunakan bahasa Indonesia.
Faktor lain, penguatan pemerintah daerah untuk menonjolkan kearifan lokal tidak begitu “ngotot”. Misalnya, pelajaran bahasa Simalungun di sekolah-sekolah belum begitu merata dan para tenaga pengajarnya malah ada yang non Simalungun. Bahkan, di kota Siantar pemerintah kota justru terkesan melakukan pembiaran terhadap sekolah yang belum menghargai kearifan lokal.
Kalau dicermari, tidak sedikit generasi muda di kota Siantar dan di Kabupaten Simalungun khususnya mulai enggan menggunakan bahasa Simalungun sebagai bahasa ibu. Sehingga, ada kekawatiran generasi muda akan lupa dengan warisan leluhur.
Hal itu sebenarnya bukan kesalahan kaum muda itu semata. Tapi, para orang tua seperti engan atau malah kurang peduli memberi pelajaran kepada generasi muda. Sehingga, tidak terjadi erosi yang makin mengkawatirkan. Terutama bagi masyarakat yang berada di perkotaan dan di lingkungan masyarakat non etnis Simalungun.
Untuk itu, para pemangku adat khususnya Partuha Maujana Simalungun (PMS) saatnya duduk bersama merumuskan permasalahan yang terjadi untuk mencari solusi.
Melestarikan bahasa Simalungun di Bumi Habonaron Do Bona Simalungun dan di kota “Sapangamabei Manoktok Hitei” kota Siantar bukan hanya tugas PMS dan seluruh komponen terkait dengan PMS.
Upaya pelestarian itu boleh dilakukan dari para orang tua dengan memberi pelajaran kepada putra-putrinya untuk menerapkan bahasa Simalungun di lingkungan keluarga. Kemudian, pemerintah juga wajib perduli melestarikan kearifan lokal.
Misalnya, kurikulum bahasa Simalungun yang sudah ada di sekolah lebih ditekankan lagi agar lebih membumi.
Namun demikian, perlu mengantisipasi kendala paling utama dengan adanya keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga, wajib dilakukan pendidikan dan pelatihan serta sarana pendukung lain seperti buku-buku praktis yang mudah dipelajari.
Kemudian, kalau orang Simalungun menggelar pesta harus menyertakan budaya leluhur dan itu memang sudah mulai kelihatan.
Apalagi lagu-lagu Simalungun semakin populer untuk dinyanyikan meski hanya menggunakan organ tunggal atau keyboard.
Meski anak muda atau kalangan pelajar dituntut mampu berbahasa asing seperti bahasa Inggris maupun bahasa internasional lainnya, bahasa Simalungun wajib diterapkan. Khususnya bagi etnis Simalungun sendiri.
Apabila memang tidak ada kepedulian melestarikan dan upaya pengembangan, bahasa Simalungun terancam punahdari muka bumi. Selanjutnya, kaum itu akan kehilangan indenitas dan jati diri.
PUNAH
Sekedar informasi, berdasarkan data, keseluruhan bahasa daerah di Indonesia sebanyak 726 bahasa dan 640 bahasa versi Unesco.
Selain Bahasa Indonesia yang dipakai sebagai bahasa nasional, masyarakat biasanya akan menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari.
Dari aspek distribusi, bahasa daerah di Indonesia banyak tersebar di Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan sedikit di Jawa dengan 20 bahasa.
Namun, dari jumlah bahasa daerah yang ada, terdapat 14 bahasa daerah di Indonesia yang sudah hilang atau punah. Hilangnya bahasa tersebut disebabkan karena sedikitnya penduduk lokal yang menggunakan bahasa daerah mereka.
Dari 14 bahasa yang punah itu, 10 bahasa di Maluku Tengah, bahasa Hoti, Hukumina, Hulung, Serua, Te’un, Palumata, Loun, Moksela, Naka’ela dan Nila. Dua bahasa punah juga di Maluku Utara yakni Ternateno dan Ibu.
Dua bahasa berasal dari Papua yakni Saponi dan Mapia.
Sementara, 13 bahasa daerah yang penuturnya di atas satu juta di antaranya, Minangkabau, Batak, Rejang, Lampung, Sunda, Makassar, Aceh, Jawa, Bali, Sasak, Bugis, Madura, dan Melayu. (Penulis Redaksi Pelaksana Siantar 24 Jam)
Discussion about this post