SEMUA orang pada dasarnya ingin selalu berbuat baik dan benar, termasuk para perampok, pencuri atau koruptor. Terbukti ketika mereka ditanya tentang keinginan mereka terhadap anak- anak mereka. Mereka dengan tegas menjawab, bahwa mereka tidak menginginkan anak keturunan mereka mengikuti jejak mereka sebagai pencuri maupun pekerjaan buruk lainnya.
Kalau kita telisik judul di atas, apakah ada yang benar belum tentu baik, atau yang baik belum tentu benar? Mari kita telisik satu persatu secara ringkas dan sederhana. Seseorang ketika hendak memakan pisang ambon yang masak, pasti mereka akan segera mengupas kulitnya.
Kegiatan mengupas kulit sebelum pisang dimakan merupakan kegiatan yang benar. Lalu bagaimana jika seseorang menyuguhkan di hadapan anda satu piring pisang ambon masak yang ranum dalam kondisi terkupas di atas meja. Bagaimana perasaan anda? Nyaman atau tidak. Bahkan mungkin anda tidak akan menyentuhnya, meski pada awalnya anda sangat menginginkannya.
Demikian pula seseorang tenaga medis, ketika ia sedang bersiap untuk shalat wajib, azan dan iqomah sudah dikumandangkan, namun seorang pasien bisul datang berobat padanya. Sang tenaga medis ingin segera berbuat baik. Meski pertimbangan sudah dilakukannya tentang mana yang harus diprioritaskan, Sang Tenaga medis ingin segera berbuat baik, lalu ia mendahulukan menangani pasien yang menderita sakit bisul, dengan asumsi waktu shalat berjamaah dapat dikejar.
Namun apa yang terjadi. Sang Tenaga medis tanpa sadar telah memakan waktu dan beliau hadir di masjid dengan kondisi shalat jamaah telah usai.
Ini sebuah kebaikan, namun belum tentu benar, sebab penanganan bisul tidaklah dalam kondisi darurat atau emergensi yang bersangatan.
Sebuah kebenaran belum tentu berterima, jika penyampaiannya tidak sesuai dengan situasi dan kondisi, termasuk kondisi kejiwaan seseorang . Ungkapan “ berbahasalah dengan bahasa kaummu” bahwa seorang penyampai kebenaran, (Sampaikanlah kebenaran, walau satu ayat”), maka kita harus tahu situasi dan kondisi orang yang akan menerima, tidak boleh kebenaran yang disampaikan dibingkai dengan sikap kasar (hantam kromo) , atau kondisi yang belum kondusif. Seseorang yang sedang berjudi dan dalam kondisi kalah, uangnya ludes, lalu ujug-ujug kita beri nasihat, bahwa judi haram, bisa runyam tentu. Ia tidak butuh nasihat, ia sedang membutuhkan modal judi, karena ia sedang mengalami kekalahan.
Lalu apakah bisa dianggap benar , jika anda turut menambahkan modal judinya. Ya sebuah kekeliruan besar. Tentu. Untuk itu, semua tindakan kita butuh kajian, apakah ada hikmah atau justeru mudharat yang datang.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS; An Nahl 125).
Proses merupakan hal pokok dalam berislam, bahkan Allah tidak menayakan hasil dari kerja kita, namun yang dipertanyakan dan diperhitungkan adalah kesungguhan dalam karya atau proses untuk menuju hasil tersebut.
Betapa lamanya Nabi Nuh AS mengajak umatnya untuk menyembah Allah SWT semata, namun umatnya menolak bahkan isteri dan anaknya juga termasuk yang ditenggelamkan Allah SWT. Butuh ratusan tahun Nuh AS berda’wah, tapi hanya sekitar puluhan orang hasilnya. Lalu apakah dapat dikatakan Nuh gagal berda’wah? Ya ukuran kita begitu. Namun Allah tetap menyayangi Nuh dan pengikut- pengikutnya.
Maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk membingkai yang benar itu dengan kebaikan, sehingga yang benar itu benjadi benar- benar baik, juga yang baik itu bisa bernilai benar.
Sungguh Islam tidak akan berterima di seluruh pelosok dunia, meski Islam sebuah kebenaran, jika da’wah Muhammad SAW dan ulama- ulama terdahulu tidak memegang prinsip bilhikmah, dengan hikmah, dengan kesantunan pribadi yang dibingkai Al Qur’an dan Sunnah.
Anda menjadi orang benar semata belum cukup, jika belum mampu menebar hikmah dan kebaikan, atau bahasa Qur’annya rahmatallil ‘alamin. Belum menjadi poros atau sumbu penebar rahmat, yang menjadikan semua makhluq Allah aman dan nyaman jika anda berada di sekitar mereka.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. *(QS; Al Anbiya : 107).
Asmen, S.Pd.,MM : Pengawas SMK Kemendikbud Sumatera Utara dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Dolok Maraja, Tapian Dolok, Simalungun
Discussion about this post