NABI MUSA AS memimpin rombongan sahabat beliau untuk berda’wah di kampung sebelah. Jalan satu- satunya yang ada untuk menuju tempat tersebut melalui sebuah terowongan yang menembus perbukitan.
Di dalam terowongan tersebut banyak stalagtit dan stalagmit serta cadas yang tajam dan sangat muda melukai tubuh orang yang menyentuhnya.
Untuk itu, sebelum memasuki terowongan, Musa memberikan arahan (brieffing) kepada rombongan, agar tidak terjadi hal- hal yang tidak diinginkan, mengingat mereka tidak membawa suluh atau lampu. Pada hal terowongan tersebut cukup panjang, sehingga di dalam terowongan sangat gelap.
“Saudara- saudaraku, kita akan memasuki terowongan panjang ini, di dalam terowongan ini sangat gelap, serta banyak batu cadas yang tajam yang siap melukai siapapun yang tidak berhati-hati, sementara kita tidak berbekal suluh atau lampu. Untuk itu masing- masing harus mengendalikan dirinya agar dapat selamat mencapai seberang bukit ini” kata Musa.
Dan Musa melanjutkan pengarahannya, mengatakan, bahwa di tengah- tengah terowongan ada hamparan yang luas, Musa menjelaskan , bahwa di lokasi hamparan tersebut bertabur benda- benda.
Namun Musa menegaskan, “jika kalian mengambil dan membawa benda- benda tersebut, maka kalian akan menyesal, kalaupun kalian tidak mengambil dan membawanya, juga kalian akan menyesal”.
Usai menyampaikan arahannya, maka Musa mempersilakan rombongan memasuki terowongan itu, terdengar sesekali suara mereka mengaduh kesakitan, mungkin karena terluka atau tersandung kaki mereka pada batu-batuan cadas.
Sesampainya pada tempat yang dimaksudkan Musa yaitu di tengah-tengah terowongan, Musa menghentikan perjalanan mereka. “Kita berhenti dan beristirahat dulu sejenak di sini, inilah tempat atau hamparan yang saya maksudkan, maka silakan rabah dan pegang dan boleh kalian bawa atau boleh juga kalian abaikan, karena siapa yang membawanya pasti akan menyesal, yang tidak membawanya juga pasti akan menyesal.” Kata Musa.
Beberapa orang membawa sesuai keinginan masing- masing dan tidak menyulitkan perjalanan mereka, diantaranya ada yang membawa sekedar sebesar kelereng atau kelingking, untuk menghilangkan rasa oenasaran nanti, sebagian membawa sekedar genggaman tangan, alasannya sudah capek, membawa bekal di pundak saja terasa berat.
Beberapa orang sama sekali tak membawa, mereka berpikir untuk apa mempersulit diri “toh pasti menyesal” dan teman- teman sudah cukup untuk menghilangkan rasa penasaran tersebut.
Perjalanan dilanjutkan, beberapa jam mereka telah sampai di bibir terowongan seberang dekat kampung yang dituju.
Musa menghentikan kafilah (rombongan) tersebut untuk beristirahat, mereka sudah sangat keletihan. Lalu Musa membuka percakapan “Adakah diantara kalian yang membawa benda yang saya maksudkan tadi, maka bagi yang membawanya agar segera memperlihatkan kepada kita semua”.
Lalu satu persatu mereka yang membawa benda tersebut mengeluarkan danmenunjukkannya untuk diperlihatkan kepada semua orang dalam rombongan tersebut.
Benar saja semua orang yang ikut dalam rombongan tersebut menyesal sejadi- jadinya. Ternyata benda tersebut adalah emas.
“Pada hal saya masih bisa membawa yang lebih besar dari ini” masing- masing mengeluh dan penyesalan yang bersangatan. Namun yang paling menyesal berat adalah mereka yang sama sekali tidak membawa benda emas tersebut.
Demikianlah keberadaan kita kita nanti ketika kita keluar dari dunia ini, menuju alam barzakh atau berhadapan dengan Allah SWT. Begitu besarnya penghargaan Allah SWT terhadap amal ibadah seseorang. Maka orang yang membawa amal ibadah yang banyak akan menyesal, “Sesungguhnya aku masih dapat melakukan ibadah jauh lebih besar dari ini, baca Qur’an di sela waktu, berzikir sambil berkenderaan atau shalat sunat yang begitu luang waktuku di dunia dulu” Lalu mereka yang membawa amal ibadah sedikit, juga akan menangis dalam penyesalan “Mengapa aku dahulu tidak menambahi amalku dengan ibadah ini dan itu, aku lebih senang ngobrol dengan teman- temanku atau lebih banyak bermain dari pada mendekatkan diri kepada Allah SWT. Yang paling berat penyesalannya adalah mereka yang hadir di hadapanNya tanpa membawa amal ibadah, mereka meraung- raung meratapi dirinya yang telah mengabaikan pertemuan dengan Tuhannya.
Mereka lalai terhadap perintah Allah dan suka dengan memaksiatiNya. Sungguh semuanya merupakan penyesalan yang tak berguna. Nasi sudah menjadi bubur, sungguh waktu tak dapat lagi ditarik mundur kebelakang.
Firman Allah SWT “Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami”. (QS : Al A’raf ; 8-9) Selagi lorong kehidupan kita masih terbentang di depan mata, maka mari kita bingkai langkah kita dengan iman dan taqwa padaNya. Sebelum layar kehidupan kita digulung dan ditutupNya, maka setiap kesempatan mari kita hiasi dengan warna- warni ibadah kepadaNya.(***)
Asmen, S.Pd.,MM : Pengawas SMK Kemendikbud Sumatera Utara dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Dolok Maraja, Tapian Dolok, Simalungun
Discussion about this post