“Ya. Allah pindahkanlah ibu kota Indonesia ke Kalimantan ya Allah, please ya Allah,please secepatnya” itu adalah lantunan do’a seorang anak kelas V Sekolah Dasar swasta lima tahun yang lalu tepatnya tahun 2016, begitu tulus ia berdo’a sambil meneteskan air mata, seolah sedang merengek kepada orangtuanya untuk diberikan sesuatu. Di tengah malam sunyi ia sujud bertahajjud kepada Allah.
Karena menurut guru agama di sekolahnya, tengah malam adalah waktu yang paling mustajab untuk terkabulnya do’a.
Mendengar suara itu, ayahnya yang sedang tidur lalu terbangun dan bertanya kepadanya. “Mengapa do’amu seperti itu nak?”
“lya yah, siang tadi ujian kenaikkan kelas, salah satu soal berisi pertanyaan, “Ibu kota Indonesia terletak di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Dari jawaban yang tersedia maka kupilih jawaban Kalimantan, padahal setelah kubuka buku tadi sore, jawaban soal tersebut adalah Jawa, maka aku minta kepada Allah agar segera Dia berkenan memindahkan ibukota Indonesia ke Kalimantan secepatnya, sehingga jawabanku benar” jawab anak kecil tersebut sambil menyeka air matanya.
Dengan senyum kecil, orangtua tersebut dengan bijak menetralisir kekecewaan anaknya “Ada berapa soal nak?” Tanya ayahnya “Lima puluh Ya” sahutnya.
“Sudah tidurlah sayang, yang empat puluh sembilan sudah pasti kamu benar semua, jadi tak usah risau, lain kali hati- hati menjawab”
Hari ini aku tak tahu, bagaimana perasaan anak kecil tersebut, setelah kini ia duduk di kelas X atau Sekolah Menengah Atas.
Apakah ia bahagia, karena ia merasa do’anya beberapa tahun yang lalu sudah mendapat respon dari Allah walau mungkin terlambat, karena ada rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan.
Aku juga tak tahu apakah Pemerintah mendengar suara anak kecil itu berdo’a, menaruh belas kasih sayangnya kepadanya, meski anak kecil ia merupakan warga Negara juga lalu lalu aspirasi ditampung sebagi tanggungjawab Pemerintah lalu direalisasikan dan diwujudkan. Aku juga tidak tahu, apakah memang anak itu merasa diperhatikan oleh Pemerintah, sehingga keinginannya diadopsi dan benar-benar wujudkan.
Namun yang kutahu adalah, bahwa anak itu hanya ingin jawaban soal yang dikumpul guru memiliki nilai benar dan sesuai kenyataan.
Bukan angan-angan dan jawaban itu tetap menjadi alat koreksi atas wujud kemampuannya, sehingga malam harinya ia menelisik bukunya untuk menghitung kebenaran jawabannya.
Terlepas dari pro dan kontra, bermanfaat atau hanya kebutuhan proyek pemindahan ibu kota, saya hanya ingin mengungkapkan agar kita tetap berhati-hati dengan apa yang kita kemukakan atau kita ucapkan. Bisa- bisa do’a kita sulit terkabul, namun kata-kata yang tidak kita maksudkan untuk menjadi permintaan (do’a) kepada Allah justeru itu yang terjadi.
Memang kita terkadang lupa, bahwa kata- kata yang meluncur dari bibir kita, pasti nanti akan diminta pertanggungjawaban di sisi Tuhan, kalau demikian maka menjadi wajar bila semua kata- kata bisa menjadi do’a. Untuk itu agar kita tidak menyesal di akhir nanti, sudah pantas kita akan mengendalikan ucapan kita dan memikirkannya sebelum keluar dari mulut kita.
Betapa banyak kita telah mempermainkan kata, boleh jadi kita ahli untuk hal tersebut, kelihaian kita melakukan pencitraan dengan manuver- manuver dengan inprovisasi yang menyentuh, tapi muaranya adalah hal yang berseberangan dengan maksud sebenarnya. Boleh jadi kitalah musang berbulu ayam. (***)
Asmen,S.Pd.,MM : Pengawas SMK Kemendikbud Prov. Sumatera Utara dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Dolok Maraja, Tapian Dolok, Simalungun
Discussion about this post