
DI HARI pertama puasa Ramadhan, sekitar satu jam menjelang berbuka Fatimah merasa sangat lapar, terbukti gadis 5 tahun yang masih duduk di PAUD Yayasan Penidikan “Aminah” tersebut menangis minta digendong ibunya.
Naluri keibuan muncul dari orangtua tersebut, bahwa ia memaklumi gadis kecilnya menangis karena merasa lapar dan haus, maka ibunya menawarinya untuk makan, namun Fatimah tetap menggelengkan kepala digendongan ibunya.
Dengan menggunakan sepeda motor ibunya membawa Fatimah berkeliling desa untuk melipur rasa lapar Fatimah, ya ngabuburit begitu istilahnya.
Benar juga cara ibu tersebut, akhirnya Fatimah dapat menyelesaikan puasa hari itu. Hari selanjutnya Fatimah sudah dapat menyesuaikan diri dan tidak ada masalah , sehingga dia dapat menyelesaikan puasanya satu bulan penuh.
Puasa bukan hanya sekedar menahan makan dan minum belaka, karena jika hanya demikian, maka Fatimah yang masih berumur lima tahunan itu sudah dapat dikatakan berhasil.
Bila kemampuan puasa kita masih seperti Fatimah, tentu masih butuh perjuangan berat untuk menggapai nilai lebih.
Kemampuan seperti itu belum dapat kita pertanggungjawabkan kepada Allah SWT, yang hanya sekedar menggeser waktu makan dan minum saja.
Sarapan pagi dipercepat menjadi makan sahur dan makan siang digeser menjadi makan maghrib.
Hal ini dapat dianggap sebagai puasanya level PAUD, meski rambut dan kumis sudah penuh uban.
Rasul SAW bersabda ”Barang siapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minum.”(HR. Imam Bukhari).
Yang perlu menjadi bahan renungan bagi kita adalah kita sudah sering mendengar , hapal dan faham hadits tersebut, namun pada saat yang sama, kita masih melakukan apa yang dilarang dalam hadits ini, sehingga puasa yang dimaksud oleh Allah dan RasulNya belum menyentuh apalagi meraih nilai- nilai yang terkandung di dalamnya.
Puasa yang bermutu dan bermakna adalah puasa yang dapat mengembalikan pelakunya kepada fithrahnya yang utuh. Yaitu mendapat keampunan dosa – dosanya oleh Allah SWT sang Maha Pencipta.

Reformasi batinnya terhadap aqidah yang lurus, yaitu aqidahnya para Nabi dan Rasul serta para wali mendapat petunjuk. Demikian juga amaliyah lahiriyah anggota tubuh sebagai aplikasi aqidah berwujud amal shaleh yang dibimbing syariat yang bersumber dari dua warisan pokok dalam Islam yaitu : Al Qur’an dan Sunnahnya.
Puasa yang hidup adalah ketika ruh puasa terus menggelora dalam dada seseorang, meskipun Ramadhan telah jauh meninggalkannya.
Semangat ibadahnya terus mengencang, semangat berbagi tak pernah pupus, cinta sesama semakin menggeliat, tak sedikitpun terbersit ingin memaksiati Allah SWT. Puasa yang hidup akan menuntun pelakunya kepada muara hidup yang diridhai Allah yaitu husnulkhatimah.
Puasa yang hidup membuat pelakunya mampu menceburkan dirinya secara penuh kepada sibghah (celupan) Allah.
“Shibghah Allah (celupan). Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.” (QS: Al Baqarah : 138)
Sehingga segenap aktivitas yang terlahir benar-benar berlandaskan nilai- nilai rabbaniyah yang lurus , menyejukan dan tidak ada kesia-siaan.
Taka ada detik berlalu, kecuali beribadah kepada Allah. Segenap waktu dan tempat merupakan wahana pengabdian yang tak pernah padam.
Dengan berakhirnya Ramadhan,maka kita telah berada pada fase kefithrian diri, kembali suci, seolah terlahir kembali dengan kondisi bersih dari dosa dan mendapatkan keampunan Allah SWT.
Menjadikan kita berbahagia dengan rahman dan rahimNya Sang Khaliq yang memang perlu disyukuri.
Kembali ke fithri tidaklah serta merta pekerjaan usai, kembali ke fithri justeru butuh usaha untuk menjadi yang lebih baik dan terbaik.
Masih harus berbasah- basah keringat, mungkin juga berbasah air mata boleh jadi berbasah darah. (***)
Asmen, S.Pd.,MM : Pengawas SMK Kemendikbud Sumatera Utara dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Dolok Maraja, Tapian Dolok, Simalungun
Discussion about this post