Jakarta, Aloling Simalungun
PKPU No.4/2021 yang dikeluarkan KPU tertanggal 8 Juli 2021 pasal 130A jelas bertentangan dengan UU Pemilu No.7/2021, khusus terkait frasa “final & mengikat”.
Pendapat tersebut disampaikan Jeirry Sumampow Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) dalam diskusi Media yang dilakukan GIAD dengan topik DKPP Diujung Tanduk, Minggunya (18/7 2021).
Dalam pasal 130A itu KPU mau mengatakan bahwa Putusan DKPP belum final dan mengikat selama masih ada proses peradilan yang berlangsung.
Dan putusan peradilan bisa saja membuat KPU tak wajib menindaklanjuti Putusan DKPP terkait sangsi bagi anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Menurut Jeiiry Sumampow PKPU merupakan wujud bahwa KPU seolah mau lepas tanggung jawab terhadap Putusan DKPP dan dengan sendirinya menegasikan substansi putusan DKPP dan eksistensi kelembagaan DKPP. Jelas ini situasi yang nggak sehat, karena itu harus dihentikan ujarnya.
KPU adalah lembaga utama pembuat peraturan turunan UU Pemilu. Saya kira repot ke depan jika KPU dengan sengaja membuat PKPU yang bertentangan dengan UU Pemilu tegas Jeirry Sumampow.
Menurut Jeirry Sumampow putusan DKPP harus menjadi tanggung jawab KPU dan Bawaslu juga.
Itulah substansi kehadiran KPU & Bawaslu sebagai ex-officio di DKPP. Tanggung jawab ini tidak semata-mata untuk menindaklanjuti putusan itu, tapi juga bertanggung jawab terhadap substansi putusan. Dalam kerangka ini maka KPU & Bawaslu tak boleh berupaya secara aktif untuk menegasikan putusan DKPP dan apalagi menolaknya.
Dikatakan Jeirry Sumampow meski secara teknis sering mereka tak ikutan dalam sidang terkait kasus anggota mereka sendiri, itu tak boleh membuat kedua lembaga ini mengambil posisi tak mau ikut bertanggung jawab dengan putusan itu. Hal ini penting untuk ditegaskan melihat dinamika yang tak sehat dan tak baik dalam beberapa kasus terakhir, terkait putusan DKPP.
Jeirry Sumampow menegaska bahwa memmpersoalkan tidak adanya mekanisme untuk mempersoalkan putusan DKPP jika dirasa tak adil sebab adanya norma “final & mengikat”, sebagaimana diatur UU Pemilu No.7/2017, saya kira kurang tepat jika dipersoalkan saat ini. Sebab UU Pemilu No.7/2017 tegas mengatakan bahwa putusan DKPP “final & mengikat”. Dan itu sudah diperkuat oleh MK dengan mengatakan bahwa sifat final & mengikat dalam putusan DKPP bagi Presiden, KPU & Bawaslu.
Sudah cukup jelas mestinya, karena itu, meski secara hukum bisa saja dilakukan, secara etis kurang baik mempersoalkan sebuah norma yang sudah dipahami selama ini setelah yang bersangkutan mendapatkan sangsi. Mengapa tak dipersoalkan dan digugat ke MK sejak awal ketika UU itu dibuat? Sebab yang sekarang terjadi sudah masuk kategori merusak sistem yang ada dan membuka ruang ketidakpastian hukum.
PKPU itu merupakan wujud bahwa KPU seolah mau lepas tanggung jawab terhadap Putusan DKPP dan dengan sendirinya menegasikan substansi putusan DKPP dan eksistensi kelembagaan DKPP. Jelas ini situasi yang nggak sehat, karena itu harus dihentikan.
KPU ada lembaga utama pembuat peraturan turunan UU Pemilu. Saya kira repot ke depan jika KPU dengan sengaja membuat PKPU yang bertentangan dengan UU Pemilu.
DKPP memang bukan lembaga yang sempurna, mungkin banyak kekurangannya tetapi masukan dan perbaikan perlu untuk dilakukan dan disampaikan secara objektif kepada DKPP.
Selama posisinya masih seperti sekarang, saya kira harus kita hargai dan hormati meskipun banyak putusan yang tak mengenakkan dan tak bisa kita terima.
Kalau ada kritik sebaiknya kita sampaikan secara terbuka dan proporsional. Bebas saja. Justru itu penting sebagai masukan pada pembuat UU untuk memperbaiki pungkas Jeirry Sumampow. (rel/tp)
Discussion about this post