ANTARA pusaran korupsi dengan pemadam kebakaran memang tidak punya hubungan langsung meski kalau dihubung-hubungkan bisa berhubungan. Hanya saja, analoginya bisa saling berbeda karena tergantung dari sisi mana kita duduk sambil memandang.
Pusaran korupsi, beda dengan pusaran air di sungai yang dapat menenggelamkan seseorang meski airnya tenang. Tidak sama juga dengan pusaran angin seperti puting beliung yang dapat menerbangkan seng, tenda maupun benda lain.
Pusaran korupsi tidak sama pula dengan pusaran rambut di kepala apalagi berpusaran dua atau tiga dan itu sering disebut keras kepala. Kalau bertengkar, meski taunya sedikit, urat lehernya seperti kawat, kupingnya merah karena ingin menang sendiri dan seri pun tak sudi.
Di antara sekian banyak pusaran, pusaran korupsi paling berbahaya. Dapat sengsarakan rakyat banyak. Khususnya kelas sandal jepit penerima beras miskin (Raskin) yang berganti sebutan menjadi beras sejahtera (Rastra). Ketika tidak punya uang dan Raskin terlambat datang, ikat pinggang terpaksa dikencangkan. Bila perlu sampai habis lobang agar perut tidak keroncongan menahan lapar.
Sementara, pusaran korupsi di pemerintahan. Seperti di Pemko Siantar, berpraktek di bawah meja berkursi basah sehingga jarang terlihat mata telanjang. Terjadi karena air liur pejabat meleleh melihat besaran uang berkali-kali lipat dibanding gajinya sebulan. Ketika imannya runtuh dan akal sehatnya jadi sakit, uang rakyat akhirnya ditilep.
Namun, sepandai-pandai tupai melompat lompat, ternyata jatuh juga. Setelah duduk di kursi pesakitan menjalani proses hukum dan terbukti bersalah, diinapkan ke hotel prodeo alias penjara berterali besi tanpa bayar seperti di hotel berbintang. Setelah vonis berkekuatan hukum tetap (inkrah), dipecat atau diberhentikan tidak hormat sebagai ASN. Sesuai UU No 5 Tahun 2014, Junto PP 11 Tahun 2017.
Sejak 2018 sampai 2020, ada 10 ASN Pemko Siantar yang berada di pusaran korupsi dipecat dan diprodeokan. Kemudian, di 2022 ini, tiga lagi menyusul. Di antaranya yang baru ditangkap meski sempat buron bertahun-tahun, sedang menunggu SK Badan Kepegawaian Nasional. Selanjutnya, ada yang jantungan menunggu putusan kasasi Mahkamah Agung. Terakhir, ada masih duduk di kursi pesakitan menunggu vonis.
Bagi yang dipecat sebagai ASN, bukan saja kesal karena tidak menerima pensiunan di hari tua. Lebih dari itu, hati sering teriris dan miris karena diberitakan media pakai huruf kapital berwarna merah. Lebih dari itu, malu tidak hanya milik seorang. Tapi, berimbas kepada keluarga yang menitipkan selimut kepada pelaku agar tidur malamnya tidak menggigil.
Pejabat di pusaran korupsi Pemko Siantar itu, tidak termasuk KS dan RS yang kalau tidak diinisialkan, sudah dikenal bayak orang karena keduanya mantan orang nomor satu. Hanya saja, mereka beda dengan ASN yang dipecat. Terutama beda soal besaran hasil korupsi dan soal asset yang dimiliki setelah menghirup udara bebas.
Kalau dipikir-pikir, khusus ASN yang telah bebas atau sedang menjalani hukuman, mungkin tidak semua bersalah seratus persen. Karena, kalau berada di sekitar pusaran korupsi pemerintahan, orang di sekitarnya bisa terkena imbas dan melibatkan banyak orang (berjemaah). Sedangkan inisiator biasanya “atasan”. “Bawahan” mungkin hanya pengekor yang bagiannya juga seperti ekor yang semakin ke ujung semakin kecil.
Tapi, terlepas dari atasan atau bawahan, besar atau kecil hasil korupsi, sekali korupsi namanya tetap korupsi. Kemudian, setiap orang kedudukannya sama di depan hukum meski yang duduk di pesakitan itu tidak semua sama di depan penegak hukum.
PEMADAM KEBAKARAN.
Setelah berputar-putar membahas pusaran korupsi, muncul juga pertanyaan tentang apa sebenarnya hubungan pusaran korupsi dengan pemadam kebakaran yang datang ketika terjadi kebakaran untuk memadamkan api.
Kalau api masih kecil, berhasil dipadamkan karena mobil kebakaran cepat tiba, masih lumayan karena kerugian materi atau korban jiwa, dapat dihindarkan. Sangat berbeda ketika api mengamuk hanguskan rumah dan baru pemadam kebakaran tiba. Sejatinya, untuk menghindari kebakaran, mengantisipasi kebakaran agar tidak terjadi, tentu lebih baik.
Lantas, bertitik tolak dari analogi itu, memberantas korupsi jangan seperti prinsip pemadam kebakaran. Artinya, lebih baik mencegah munculnya koruptor baru masuk ke pusaran korupsi dari pada sekedar menangkapi koruptor yang kadung merugikan negara.
Namun, mencegah munculnya korupsi baru, tidak semudah mengkedipkan bola mata. Tapi dapat dilakukan dengan berbagai teori asal prakteknya pas dan tulus, disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta tidak musim-musiman.
Secara internal, pengawasan inspektorat terkait adanya kerugian negara seperti temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) wajib diperketat dan diselesaikan cepat agar tidak berlarut-larut. Lebih dari itu, DPRD juga wajib mengawasi belanja modal dan saat Rapat Dengar Pendapat dengan eksekutif selalu mengingatkannya.
Terpenting, ASN yang paling berpotensi korupsi karena peluang ada di depan bola mata, wajib kuat iman dan takut Tuhan. Kalau kadung korupsi, segera bertobat. Karena, kalau jatuh meski pandai melompat, apalagi jatuh tertimpa tangga dan kena kotoran pula, baunya susah hilang. Sehingga, orang di sekitar selalu tutup hidung karena takut muntah.
Kemudian, kalau luput masuk penjara dan terhindar dari pemecatan sebagai ASN, yakinlah bahwa perut yang buncit karena korupsi, isinya adalah sumpah serapah rakyat kelas sandal jepit yang akan menjadi sumber penyakit.
Kalau ada aparat penegak hukum menjadikan terduga koruptor sebagai ATM apalagi itu sudah rahasia umum, hentikanlah sebelum masuk perangkap Operasi Tangkap Tangan. Terduga korupsi juga jangan mau jadi ATM. Karena, setelah badan jadi cungkring dan isi ATM yang juga hasil korupsi kering, pintu penjara tetap menanti mengucapkan,”Selamat Datang”. (***)
Discussion about this post