P.Siantar, Aloling Simalungun
Rencana komersialisasi lapangan H Adam Malik Kota Siantar, menuai kontra dari para pedagang Pasar Horas dan Pasar Dwikora. Bahkan, DPRD Siantar yang membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda), diminta untuk tidak cari masalah.
Komersialisasi lapangan H Adam Malik sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) itu, dibahas Komisi II DPRD Siantar melalui Ranperda tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar No 5 tahun 2011 tentang Retribusi Daerah.
Sementara, alasan pedagang tradisional menentang komersialisasi lapangan H Adam Malik, karena yang namanya komersil akan ada pusat binis baru meski sifatnya temprorer. Misalnya, pameran atau malah bazar. Sehingga, akan berdiri stand-stand promosi berbagai produk. Sementara, produk yang dijual tersebut, ada juga dijual di pasar tradisional.
“Pedagang akan menentang kalau lapangan H Adam Malik itu dikomersilkan. Kalau ada pameran atau bazar, jelas akan mematikan pedagang pasar tradisional karena kehilangan pembeli. Termasuk juga pertokoan,” ujar Naek Sagala Sebagai ketua Asosiasi Pedagang Pusat Pasar Horas Kota Siantar, Kamis (9/3/2022).
Mengingat masa sebelumnya saat lapangan H Adam Malik dijadikan sebagai lokasi pameran atau bazar, pemilik stand menurut Naek Sagala bukan warga Siantar. Tetapi orang luar daerah yang mencari uang di Siantar dan uang itu dibawa ke daerahnya masing-masing.
“DPRD jangan membuat masalah. Untuk itu, jangan ada dalam Perda komersialisasi lapangan H Adam Malik. Kalau itu terjadi dan lapangan H Adam Malik dijadikan sebagai lokasi pameran seperti masa sebelumnya, pedagang akan melawan,” ujarnya.
Sejatinya, Pemko dan DPRD Siantar lebih kreatif mencari sumber-sumber PAD yang lebih berpotensi dan tidak menuai kontra dengan komunitas tertentu. Sementara, fungsi lapangan H Adam Malik dikatakan untuk upacara kenegaraan atau nasional pemerintah seperti Pemko, TNI maupun Polri maupun pagelaran sosial budaya.
Rudi Mirza Lubis, Ketua DPC Pelindung Persaudaraan Pedagang Pasar Bersatu (P4B) Pasar Dwikora Kota Siantar. DPRD Siantar yang membahas Ranperda retribusi yang salah satunya pemanfaatkan H Adam Malik, harus melihat bagaimana situasi ke depan.
“Kalau ada komersialisasi, kita trauma dengan pameran atau bazar seperti sebelumnya. Karena pameran atau bazar yang berlangsung menjelang hari-hari besar keagamaan seperti Natal, Tahun Baru maupun Hari Raya, membuat pedagang kehilangan pembeli,” ujar Lubis.
Robin Samosir, pengamat sosial politik Kota Siantar, lebih kritis lagi. DPRD Siantar jangan berpikiran dangkal. Kalau komersil, berarti ada transaksi bisnis atau jual beli. Lantas apakah ada jaminan lapangan H Adam Malik tidak dilakukan pameran?.
“Lapangan H Adam Malik sebagai ikon itu, wajah Kota Siantar yang harusnya dijadikan pendukung destinasi wisata. Kalau dikomersilkan, fungsinya akan berubah dan kalau itu dicantumkan pada Perda, kita sesalkan,” beber alumni Fisip Komunikasi Universitas Gajah Mada itu.
Bahkan, mantan jurnalis yang sudah melanglang buana ke berbagai negara itu mengatakan, DPRD Siantar dan Pemko Siantar harus inovatif dan kreatif mencari sumber-sumber PAD lain yang tidak menuai masalah di kemudian hari. Kemudian kalau bermasalah yang disalahkan tentu Wali Kota sebagai pemimpin.
Untuk itu, Plt Wali Kota dr Hj Susanti Dewayani diminta peka terhadap kemungkinan akan munculnya masalah baru di Kota Siantar. “DPRD dan pejabat Pemko harus cerdas. Jangan berpikir recehan untuk mencari sumber PAD,” ujarnya.
Sekedar mengingatkan, Komisi II DPRD Siantar sudah membahas Ranperda tentang Retribusi Daerah. Khususnya pemanfaatan lapangan H Adam Malik, Selasa (8/3). Melibatkan Plt Kadis Pariwisata, Kusdianto sebagai institusi pengelola lapangan H Adam Malik yang juga melibatkan, Masni sebagai Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Pemko Siantar.
Awalnya, Kusdianto sebagai Kadis Pariwisata Kota Siantar memaparkan, dalam Perda No 9 Tahun 2014 dijelaskan, selain untuk rapat atau upacara pemerintahan dan TNI yang tidak dipungut retribusi, pemakaian lapangan H Adam Malik juga digunakan untuk komersil Rp1 juta perhari dan pagelaran musik Rp 10 juta perhari.
Rini Silalahi sebagai pimpinan rapat mengatakan soal kata komersil bisa bias. Karena, pada tahun-tahun sebelumnya, ada bazar yang menuai berbagai masalah. Selain lapangan H Adam Malik kumuh, pedagang Pasar Horas dan Pasar Dwikora, protes karena apa yang mereka jual, justru ada dijual di bazar dimaksud.
Namun, keputusan itu terkesan ambigu atau mendua karena selain dipungut retribusi Rp 10 juta perhari, setiap stand yang berdiri di lokasi lapangan H Adam Malik juga dikenakan biaya yang besarannya ditentukan kemudian.
Sementara, keputusan itu sebenarnya belum final. Karena masih akan dibawa ke rapat gabungan komisi untuk dibahas atau ditelaah seluruh komisi lagi. (In)
Discussion about this post