NAMA GUNUNG atau DOLOG SIMBOLON sejarahnya berasal dari nama yang berupa frasa “Si Imbou Bolon”, yang melalui proses linguistik dan yang akhirnya menjadi “Dolog Simbolon”, salah satu gunung atau dolog yang berlokasi di Kabupaten Simalungun.
Pada awalnya Gunung atau Dolog Si Imbou Bolon dihuni satwa kera besar (mawas atau siamang) yang dalam bahasa Simalungun disebut “imbou” dengan tubuhnya lebih besar (atau “bolon” dalam bahasa Simalungun) dari kera atau beruk dan menyerupai manusia. Imbou merupakan hewan yang berguna bagi masyarakat saat itu dan tidak pernah mengganggu lahan masyarakat.
Pada umumnya hewan imbou membentuk komunitas atau berkelompok saat musim penghujan atau kemarau akan datang. Dengan adanya atau bermukimnya kawanan imbou itulah kawasan itu disebut “Dolog si Imbou Bolon” atau ‘gunung permukiman mawas besar’.Dari penamaan “Si Imbou Bolon” itulah dalam proses pemakaiannya menjadi “Simbolon”
Dari perspektif lain, lokasi Dolog Si Imbou Bolon itu erat terkait dengan usulan pendirian Negara Bagian Sumatra Timur pada kurun 1949-1950 oleh PRRI yang dipimpin oleh Letkol M Simbolon, yang ketika itu bermarkas di Simbolon Tengkoh dan akhirnya menyerah tanpa syarat kepada TNI/Pemerintah RI.
Peristiwa inilah yang memantik semakin banyak marga Simbolon datang ke Simalungun khususnya di daerah Simbolon Tengkoh.
Ditinjau dari aspek yang berbeda, menurut Prof Amrin Saragih, M.A, Ph.D. Guru Besar Universitas Negeri Medan proses linguistik telah terjadi dalam pembentukan “Simbolon” dari frasa “Si Imbou Bolon”.
Si Imbou Bolon menjadi Simbolon
Proses pertama, dalam ucapan cepat atau berulang-ulang bunyi /i/ dari prefiks atau kata sandang “Si” menyatu dengan bunyi /i/ pada suku pertama “Imbou”. Proses pertama ini menghasilkan /siimbou bolon/.
Proses kedua, bunyi /b/ pada suku kedua kata “Imbou” menyatu dgn bunyi /b/ pada suku pertama kata “Bolon”.
Proses pertama dan kedua menghasilkan bunyi /siimboubolon/.
Selanjutnya, proses ketiga bunyi /ii/ menyatu menjadi /i/, bunyi diftong /ou/ menyatu dgn vowel /o/ pada suku kata “bo-” karena keduanya berada pada satu daerah artikulasi; selanjutnya bunyi /bo/ dan /bo/ lesap satu menjadi /satu /bo/ saja.
Dengan demikian, proses pertama, kedua dan ketiga menghasilkan telah melalui tahap berikut: /Si Imbou Bolon/menjadi/Siimboubolon/ kemudian menjadi /Simboubolon/ seterusnya menjadi /Simbobolon/ dan akhirnya menjadi /Simbolon/. Proses ini memenuhi aturan atau hukum dalam ilmu bunyi bahasa yang dikenal sebagai Phonology.
Jadi, dari uraian dan penjelasan terdahulu dapat disimpulkan bahwa Gunung atau Dolog Si Imbou Bolon yang sekarang menjadi Gunung atau Dolog Simbolon, tidak ada kaitannya dengan Marga Simbolon, apalagi sampai mengklaim wilayah tersebut milik mereka.
Raja-raja Simalungun pada masa itu memang sangat “welcome”, dengan atau menghargai masyarakat pendatang dengan tidak membedakan suku, agama atau golongan, bahkan pendatangpun diperkenankan mengambil dan memakai salah satu marga yang ada di Simalungun:SInaga, SAragih, DAmanik, PURba.
Sehubungan dengan rencana napak tilas marga Simbolon ke Nagori Gunung/Dolog Simbolon yang disebut-sebut akan diikuti ribuan orang, kita warga Simalungun pada prinsipnya mendukung kegiatan itu guna mengenang leluhur mereka yang pernah tinggal di sekitar lokasi tersebut.
Kita berharap dengan kegiatan napak tilas dari marga Simbolon, masyarakat memahami asal muasal penamaan Dolog Si Imbou Bolon. Kita warga Simalungun juga memaklumi napak tilas itu berpotensi ke pengembangan dan investasi wisata yang dapat menambah kapasitas ekonomi masyarakat setempat.
Silahkan bernapaktilas, namun tetaplah menghormati kearifan lokal dari peninggalan leluhur suku Simalungun yang sudah tumbuh dan berkembang dari dulu sampai sekarang di Bumi Habonaron Do Bona yang sama-sama kita cintai ini.(****)
Discussion about this post