SUDAH menjadi kebiasaan masyarakat, jika menjelang bulan suci Ramadhan mereka mengadakan trdisi nyekar atau nyadran atau berziarah ke pemakaman untuk berdo’a di sana. Maka biasanya pada saat- saat seperti itu lokasi pemakaman menjadi ramai dan sering muncul tukang parkir dan pedagang dadakan atau musiman.
Teringat sekitar tahun 2010 yang lalu, saat itu lagi musim ziarah, ya karena memang menjelang Ramadhan 2010. Ketika itu saya sedang ingin berbincang dengan salah seorang kepala SMK swasta yang lokasi sekolahnya berseberangan dengan pemakaman di jalan Singosari Pematangsiantar yaitu Bapak Sudarlian, S.Pd.,M.Si.
Setelah saya hubungi via handpone ternyata beliau sedang melihat- lihat para peziarah yang ramai menabur bunga di pemakaman seberang sekolah yang dipimpinnya. Saya temui beliau di sana dan kami berbincang ringan di depan gerbang pemakaman tersebut tentang beberapa hal yang ringan berkaitan dengan program sekolah saya (waktu itu saya kepala salah satu SMK Negeri di Pematangsiantar) dan sekolah beliau untuk melakukan kolaborasi kegiatan yang bisa dilakukan.
Namun sebelum pembicaraan kami mulai, beliau menunjuk salah satu kuburan yang ada batu nisan di atasnya. Lalu membaca nama yang tertulis pada batu nisan tersebut lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal kematiannya. Namun saat ini saya lupa nama dan tanggal-tanggal yang ada pada batu nisan tersebut. Hanya ketika kami menghitung lamanya hidup orang yang dikubur di bawah batu nisan tersebut sekitar 35 tahun. Atau kalau boleh kita reka kira- kira seperti ini. Nama Abdullah, lahir : 20 Juni 1930, wafat 15 Maret 1965.
Bapak Sudarlian bertanya kepada saya “Berapa lama orang yang dikubur ini hidup pak?” sebagai guru yang mengampu bidang studi matematika sungguh tida terlalu sulit saya menjawab refleks. “Sekitar 35 tahun pak”.
“Lalu berapa lama ia berada di alam kubur sampai saat ini pak?” Ini lagi pertanyaan ringan anak TK juga bisa jawab “Ah, itu mudah saja sekitar 45 tahun”
Kemudian dengan senyum kecut dimelanjutkan pertanyaan.
“Jadi lebih lama mana ia hidup di alam dunia disbanding dengan hidupnya di alam barzakh?”
Aku tak menjawab, hanya terpaku memandang beliau, begitu dalam kajian dan telisik beliau dalam mengartikan hidup di dunia ini.
“Ya mudah-mudahan orang ini mendapat nikmat kubur, meski lebih pendek hidupnya di dunia, namun ia bahagia, yang miris jika usia yang pendek di dunia baginya justeru menjadi penyebab ia mendapat siksa kubur, nauzubillah, itu miris sekali” sambungnya.
Aku tetap diam dan belum mampu mencerna kata- kata beliau.
Ternyata butuh waktu sekitar sebelas tahun di 2021 ini aku sedikit faham maksud arah pembicaraan beliau.
Sungguh kehidupan di dunia ini adalah kehidupan yang sempit dan pendek (fanah), namun jika kita tidak pandai memanfaatkannya, maka kita akan menderita dalam jangka panjang yaitu ketika kita berhadapan dengan Sang Khaliq Allah SWT.
Rasul Muhammad SAW mengatakan, bahwa waktu laksana pedang, jika tidak mampu menggunakannya dengan baik, dipastikan akan melukai pemakainya.
Dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun”
Dari firman tersebut, bila kehidupan akhirat kita konversi kepada kehidupan dunia adalah seharinya akhirat sama lamanya dengan lima ribu tahunnya kehidupan dunia.
Lalu bagaimana jumlah umur kita hidup di dunia, katakanlah 100 tahun, coba banding dengan kehidupan lima puluh ribu tahun, sungguh sesuatu yang hamper tidak sebanding.
Untuk itu, janganlah hendaknya kehidupan yang serba pendek ini justeru menggagalkan kehidupan yang hakikih yaitu kehidupan kekal bersama Allah SWT.
“Hitung- hitunglah dirimu sebelum dihitung oleh Allah SWT” kata Abu Bakar.
Semoga kita dapat meniti untaian hari-hari kehidupan ini dengan bingkai iman dan taqwa kepadaNya, sehingga tidak menyesal ketika kita diuntai oleh hari-hari di akhirat kelak.(***)
(Asmen, S.Pd.,MM : Pengawas SMK Kemdikbud Sumatera Utara dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Dolok Maraja, Tapian Dolok, Simalungun)
Discussion about this post