Jakarta, Aloling Simalungun
Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) berpendapat bahwa berita pemberian SP3 ini terasa amat perih, buat sesak dan sulit bernapas.
Komisi Pemberantasan Korupsi seperti membuat ‘lelucon hukum’ dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan yang mengakhiri status tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.
Sikap GIAD tersebut disampaikan dalam siaran persnya yang diterima Aloling Simalungun Kamis (8/4/2021).
Dalam siaran persnya GIAD yang terdiri dari Ray Rangkuti (Direktur LIMA), Jeirry Sumampow (Koordinator TEPI), Arif Susanto (Exposit Strategic), Mia Rosdianti (Koordinator Devisi Analisis dan Advokasi, IBC) Badiul Hadi (Manager Riset Seknas FITRA mempertanyakan bahwa sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 2019, keduanya mangkir dari dua kali pemeriksaan yang dijadwalkan KPK hingga kemudian mereka dinyatakan buron.
Belum mampu menyentuh sisi terdalam kasus ini, KPK sudah buru-buru menyerah kalah.
Bagaimana mungkin potensi kerugian negara lebih Rp4,5 triliun tidak dapat dijelaskan secara hukum? KPK terang gagal menghadirkan kepastian hukum sekaligus keadilan bagi publik.
KPK telah membikin bangkrut dirinya sendiri dengan membolak-balikkan logika hukum demi tunduk pada ‘kepentingan-kepentingan khusus’. Sejarah telah mencatat bahwa revisi UU KPK, yang dijalankan secara senyap dan penuh muslihat oleh DPR bersama pemerintah, diproses hanya dalam kisaran dua minggu.
Selain hal diatas, dasar pemberian SP3 itu memang terdengar logis. Tapi sekaligus hal itu menggambarkan kelemahan sikap KPK. Sebab, beberapa hal ini masih dapat dipertanyakan:
1. Apakah menghitung 2 tahun dimaksud seperti dalam pasal 40 ayat (1) UU No 19 tahun 2019 sudah tepat atau belum? Dari manakah dihitung? Putusan MA atas kasasi SAT dikeluarkan pada 9 Juli 2019, penolakan MA atas upaya hukum luar biasa PK KPK baru diputuskan 16 Juli 2020.
2. Maka SP3 KPK itu serasa terburu-buru. Sebab, jika dihitung sejak Juli 2019, 2 tahunnya adalah Juli 2021. Jika dihitung Juli 2020 maka 2 tahun itu adalah 2022. Tapi jika dihitung sejak SN dinyatakan tersangka (19 Juni 2019) maka dua tahunnya adalah Juni 2021. Kenyataannya, baru di bulan April 2021.
Dengan SP3 bagi Sjamsul dan Itjih, KPK agaknya telah membuka ‘kotak Pandora’ yang berpeluang memunculkan gelobang SP3 untuk kasus-kasus berlainan. Setelah ini, kita tidak akan kaget lagi mendapati tersangka-tersangka korupsi melenggang bebas tanpa sempat diperiksa. Sinyalemen untuk itu telah disampaikan sendiri oleh komisioner KPK.
Masa depan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tampak buram sekaligus suram. Di tengah lemahnya komitmen negara, penyelesaian penyelewengan BLBI, dengan potensi kerugian negara lebih Rp2000 triliun, dapat menguap begitu saja.
Berdasarkan hal diatas kami menuntut KPK agar kembali kepada spirit awal pendirian lembaga untuk memberantas korupsi dan bertindak independen dengan melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan khusus pengusaha, politikus, dan pihak mana pun.(hp)
Discussion about this post