
TIDAK ada yang ingin berurusan dengan lelaki bertubuh gempal itu, rambutnya gondrong dengan kumis tebal dan badan penuh tato. Dalam kesehariannya suaranya selalu keras dan terkesan pemarah. Senyum sangat sulit terlihat padanya. Orang menggelarinya “Preman Jengkol”.
Aku sendiri tak tahu, apakah gelar itu mendapat restu darinya atau justeru beliau akan marah bila kita memanggilnya dengan gelar tersebut. Jika sudah demikian pasti sudah sulit urusannya. Karena yang kudengar orang memanggil namanya dengan sebutan “Bang Boy”. Aku sendiri tak tahu persis nama sebenarnya, asal usulnya atau umurnya. Namun kalau boleh ditaksir sekitar empat puluhan begitu.
Usut punya usut gelar “Preman Jengkol” tersebut didapat dari keberadaannya yang tetap hadir mangkal di pertigaan jalan Jengkol, yang menghubungkan desaku dengan Kota Pematangsiantar dan Tebing Tinggi.
Aku juga tidak tahu sejak kapan beliau mangkal di persimpangan tersebut, yang menjadi kegiatan rutinnya tiap hari. Yang semua orang kenal tentang statusnya adalah preman dengan segenap cap negatif kepremanannya. Baju biru yang sudah buram dan rompi kumal merah muda dengan celana jean yang memiliki lubang sana- sini dan berumbai, itulah ciri khasnya. Yang penting bagi semua orang berusaha untuk menghindar agar tak punya masalah dengannya.
Siang itu, ketika aku baru pulang dari kantor dan sudah pasti aku melewati pertigaan atau persimpangan Jalan Jengkol, pertigaan dimana preman sangar itu mangkal. Sejak dari kejauhan aku sudah merasa was-was dan jantungku berdegup kencang, karena terlihat olehku sang preman seram tersbut sudah memandangi aku, lalu apakah ada salahku dengan beliau, sepertinya beliau benar- benar ingin melampiaskan marahnya padaku.
Ingin rasanya aku menghindar dengan mencari jalan lain, namun tidak ada jalan alternatif yang dapat kulalui untuk pulang menuju rumahku. Aku melambatkan sepeda motorku, karena hendak berbelok ke kiri memasuki jalan arah ke desaku. Aku sudah pasrah dengan hal yang akan terjadi denganku.
“Halo bung!!!!” suaranya keras membentak “Apa sudah punya serap nyawa” lanjutnya, aku berhenti di dekatnya, sambil menelisik apa kesalahan yang kulakukan terhadapnya. Aku benar- benar shok dibuatnya dan sangat ketakutan.
“ Itu cagak standarmu masih menjulur, kalau sangkut lalu jatuh, mati kau. Bodoh gak hati- hati!”

Plong rasanya hatiku, memang aku lupa mengangkat cagak standar sepeda motorku, tadi aku terburu- buru ,ternyata dia menegur dan memberhentikan aku, agar aku mengangkat cagak tersebut.
“Terimakasih Bang, sudah diingatkan!” jawabku sambil mengangkat cagak tersebut dengan kakiku. Namun dengan tak acuh dia berpaling meninggalkanku dan akupun kembali menarik gas sepeda motorku untuk melanjutkan perjalananku.
Sungguh dugaanku salah selama ini, aku selalu berpikir, bahwa preman tidak memiliki rasa prikemanusiaan. Ternyata mereka juga masih seperti kita, masih ada rasa mencintai dan ingin menyelamatkan orang lain. Persoalan “Cagak Standar” adalah persoalan sepele, tapi begitu berbahayanya bagi pengendara apabila terlupa untuk mengangkatnya, bisa fatal, bisa terjatuh dan bisa pula mati.
Memang kita selalu memberikan stigma negatif terhadap apapun yang ada di hadapan kita, kita selalu mengukur prilaku dan keberadaan seseorang sesuai keberadaan kita sendiri atau sesuai pengalaman kita. Maka alat ukur tersebut merupakan alat ukur yang relatif tak berimbang dan sangat tidak akurat.
Namun yang harus kita tanamkan dan yakinkan dalam hati kita, bahwa semua orang apapun profesi dan status sosialnya pasti masih memiliki rasa ingin berbuat baik. Seperti masalah kelupaan mengangkat cagak standar sepeda motor kita, terkadang ada orang yang bersusah payah mengejar dan mendahului kita untuk hanya sekedar mengingatkan “Cagak Mas!” Lalu orang itu berlalu tanpa mengharapkan imbalan, bahkan ungkapan terimakasih dari kitapun tak mereka harapkan.
Untuk itu, marilah kita mulai untuk selalu menghargai orang lain, memuliakan orang lain tidaklah akan menjadikan kita rendah. Dan tentu kita sudah maklum, bahwa orang yang tak punya beras tidak akan mampu memberikan beras kepada yang lain. Orang yang tidak punya uang, pasti tidak akan mampu memberikan uang kepada orang lain, maka begitu juga dengan orang yang tidak mampu menghargai orang lain, pasti karena mereka tidak punya harga diri. (***)
Asmen, S.Pd.,MM : Pengawas SMK Kemendikbud Sumatera Utara dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Dolok Maraja, Tapian Dolok, Simalungun
Discussion about this post