KEGIATAN puasa Ramadhan ditutup dengan menunaikan bayar zakat fithrah bagi umat Islam, dimana selama satu bulan umat diminta untuk menikmati situasi dan kondisi saudara- saudara mereka yang memiliki nasib kurang beruntung dalam ekonomi.
Dalam kesempatan yang sama, bahwa setiap muslim diminta pula untuk memiliki kemauan dan kemampuan meneropong siapa saja diantara saudara- saudaranya yang butuh pertolongan untuk dibantu. Maka sudah seharusnya setiap muslim memiliki catatan atau menginventarisir kaum dhuafa yang muaranya adalah dibantu dan disejahterakan atau paling tidak disejajarkan dengan kondisi ekonomi mapan sauadara –saudaranya yang lain.
Secara finansial zakat fithrah adalah berbagi sedikit dan tidak akan menjadikan muzakkih menjadi miskin, namun perlu disadari, bahwa menunaikannya merupakan langkah awal untuk berani berbagi yang lebih besar. Diantaranya : ada zakat mal, infaq, sedekah, qurban, wakaf, hibah dll.
Dengan zakat fithrah kita diajarkan oleh Allah untuk memiliki kepedulian terhadap yang lain, yang termuat di dalamnya pengakuan, bahwa di setiap lembar uang yang kita pegang ada milik orang lain, pada emas yang kita simpan ada sebagian milik orang lain, pada tanaman yang menguning siap panen di sawah, ada sebagian milik orang lain. Ya orang itu adalah fakir miskin, yang sebagian rezekinya Allah titip dan amanahkan melalui kita untuk kita sampaikan kepada pemiliknya.
Betapa banyak diantara kita muslim yang protes dengan nada miring kepada saudara- saudara kita yang muslim, antri berjajar di depan pintu rumah ibadah saudara kita non muslim saat mereka merayakan hari besar keagamaan mereka.
Saudara- saudara kita muslim dengan berdesakan menanti pembagian beras atau uang oleh mereka, lalu kita jingkrak- jingkrak seperti cacing kepanasan marah kepada saudara sendiri, “Memalukan “ kata kita.
Lalu selama ini kita kemana? Tidak urus saudara sndiri, sehingga mereka kelaparan dan mengemis di rumah tetangga, lalu sampeyan mencak- mencak.
Bahkan ada yang dengan suka rela minta diadopsi oleh tetangga. “Woy, sampeyan kemana?”
Jika nilai dan ruh puasa hanya berhenti pada lebaran, zakat fithrah hanya berhenti di malam satu Syawal, lalu setelah itu kita bubar, taqwa yang mana yang kita raih. Apakah taqwa itu banyak macamnya atau satu macam saja?
Apakah ada taqwa rajin shalat, rajin puasa, zikir, tidak menggunjing, tapi ogah zakat harta, enggan infaq dan enggan menolong orang lain? Yang penting urusanku dengan Tuhanku beres.
Atau apakah ada taqwa rajin shalat, rajin puasa, zikir, , rajin zakat harta, infaq , tapi hobinya menyalahkan orang lain suka pencitraan lalu menggunjing?
Padahal Rasul menghukumi kafir orang- orang yang memenuhi perutnya sendiri dengan kenyang namun mengabaikan tetangganya atau saudaranya yang kekurangan.
“Tidak beriman (kafir) sesorang yang tidur semalaman dengan kenyang, sementara ia tahu tetangganya dalam kondisi kelaparan”
Keshalehan dan Ketaqwaan pribadi sangat perlu, tapi bukan berarti mengabaikan keshalehan sosisal dalam komunitas. Firman Allah SWT
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali dengan manusia “ (QS : Ali Imran ; 112).
Maka zakat fithrah yang kita lakukan pada lebaran ini, masih butuh follow up pada hari- hari seterusnya, yang tentu sudah pasti dibingkai oleh keshalehan dan kesadaran berkomunitas dalam rangka menapaki untaian hari- hari kehidupan, sebelum Allah menggulung untaian itu untuk kita.(***)
Asmen, S.Pd.,MM : Pengawas SMK Kemendikbud Sumatera Utara dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Dolok Maraja, Tapian Dolok, Simalungun
Discussion about this post