Lidah Melayu melafaskan Free Man menjadi preman. Dan, bila diartikan secara gamblang, maknanya identik dengan seseorang yang bebas/leluasa/merdeka dan tidak mau terikat dengan kebiasaan umum di lingkungannya.
Preman, sempat ramai diperbincangkan karena ada intruksi dari Kapolri kepada seluruh jajaran Polda untuk diteruskan ke seluruh Polres. Termasuk ke jajaran Polres se Sumatera Utara seperti Polres Siantar dan Simalungun juga agar menempa sisir untuk menyikat preman yang dianggap tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Tidak bisa lagi dipandang pakai kaca mata hitam saat udara mendung. Apalagi dipandang pakai mata tertutup kain hitam yang membuat pandangan jadi gelap. Tapi, memandang preman jangan pakai kaca mata kuda yang hanya bisa memandang ke depan tanpa melirik ke kiri, kanan atau atas dan bawah.
Kalau dicermati beberapa hari terakhir, perbincangan masalah preman sempat bergelinjang meski terindikasi sudah mulai dingin bagai bubur baru masak yang sempat disajikan di dalam mangkuk. Tapi, hanya sebagian yang disantap dan masih banyak bersisa.
Padahal, diperbincangkannya masalah preman jelas bukan ingin membesar besarkan keberadaan preman meski ada sejumlah nama yang sudah besar bahkan melegenda sesuai zamannya. Seperti Kusni Kasdut, Mat Pelor, Joni Indo, Anton Medan dan lainnya.
Bukan pula karena preman banyak yang ditangkap kemudian masuk dan keluar. Bahkan setelah keluar tetap jadi preman dan semakin ganas. Kemudian, ada yang keluar, berhenti jadi preman yang tidak pernah mereka cita-citakan sejak kecil.
Tapi, karena cita-cita mereka dirampas preman, setelah besar terpaksa menjadi preman. Karena, melawan preman harus dengan cara preman juga. Apalagi muncul istilah bahwa sesama preman dilarang saling preman.
Kemudian, preman yang sempat malang melintang dan akhirnya meninggalkan dunia preman itu, ada ingin menjadi orang yang bermanfaat kepada sesama tanpa harus tampil seram dan menakutkan orang lain.
Misalnya, berusaha mencari nafkah menjadi penjual es cendol yang hasilnya lebih berkah untuk asupan anak istri di rumah kontrak yang sewanya yang malah tinggal sebulan lagi.
Namun, ketika dagangannya sepi dan penjual cendol harus menghadapi musim hujan, penghasilan untuk menutupi kebutuhan sejengkal perut dan berjengkal-jengkal perut anak istri jadi sulit. Apalagi untuk membayar kontrak rumah yang semakin mendesak.
Karena pening tujuh keliling dan kerut di kening semakin miring, akhirnya terpaksa jadi preman lagi. Berusaha mengintai sasaran pakai kelopak mata bagai merah saga. Tapi, tetap ada yang akhirnya bernasib sial karena kena sisir petugas. Sementara, sang istri bingung menjawab pertanyaan anak, “Ibu ayah kok tidak pulang?”.
Di sisi lain, tetap saja ada warga ciut berhadapan dengan preman yang dianggap lebih menakutkan dari hantu. Terbukti, sebagian masyarakat malah mengejar bahkan mencari hantu untuk meminta angka tebakan. Namun, karena angkanya sering meleset atau tidak jitu, hantu akhirnya terkekeh karena berhasil “mengkadali” manusia.
Sejatinya, kalau memaknai arti preman, preman itu sebenarnya bukan hanya berdaki karena sering terpanggang terik matahari jalanan sehingga kulitnya legam. Mengenakan celana beler dan berkaos oblong yang mungkin di selah pinggang menyelipkan belati.
Bagaimana tentang preman yang tampil necis pakai parfum dari Paris keluar masuk kantor pemerintah pakai jas dan berdasi? Penampilannya berwibawa dan logikanya lebih cerdas dari para sarjana yang lulus karena pelumas.
Kemudian, bagaimana dengan preman berseragam yang pistolnya di pinggang sengaja ditonjolkan supaya dilihat orang. Sementara, ada pistol yang pelatuknya dipicu tanpa perhitungan hingga akhirnya ada nyawa berpisah dengan raga?
Kawasan bebas asap rokok atau bebas sampah, banyak ditemukan. Tapi, kawasan bebas preman apa sudah ada?
Memberantas preman sampai ke akar-akarnya memang sangat positif. Tapi, preman, khususnya preman berdaki sebenarnya bukan sampah. Tapi, kalau memang dianggap sampah, bukankah masih bisa didaur ulang menjadi bahan bernilai ekonomis dan bermanfaat serta berarti untuk menghasilkan materi?
Memberantas preman yang dianggap sampah untuk didaur ulang sangat positif kalau tidak hanya sekedar musiman. Apalagi hanya musim paceklik seperti saat pandemi Covid-19 yang sekarang sedang menjepit dan membuat orang menjerit.
Tapi, mengantisipasi munculnya preman-preman baru yang datang dari situasi kepepet karena sejengkal perut dan berjengkal-jengkal perut anak istri di rumah kontrakan yang sewanya tinggal sebulan, tentu sangat amat positif.
Lantas, bagaimana dengan preman berdasi pakai jas dengan sepatu berkilat serta yang mengenakan seragam? Mereka ada di antara suara-suara para petinggi yang jabatan. Baik itu petinggi negeri atau petinggi kota yang sebenarnya lebih berbahaya dari preman berdaki?
Sekarang, di negeri beta yang katanya bijak bestari, berita pertandingan sepakbola yang ditonton orang melalui siaran langsung sampai begadang, lebih tranding dibicarakan dibanding soal preman.
Tapi, perlu ingatkan, soal preman tetap layak disajikan media dengan hangat. Hangat seperti serabi yang diolah tanpa bahan kimia supaya tetap asli. Hanya saja, harus tetap waspada karena preman selalu mengintai merampas serabi! (Penulis Redaktur Pelaksana Siantar 24 Jam)
Discussion about this post