Program LISA (Lihat Sampah Ambil) yang digulirkan sekitar tiga bulan lalu dengan tujuan untuk kebersihan Siantar, mulai menuai berbagai pendapat. Bahkan, ada warga sepakat menganalogikannya bagai seorang gadis yang berwajah cemberut.
Cemberut bukan seperti bidadari cantik Nawangwulan dari kayangan yang turun ke bumi pakai pelangi sebagai tangga untuk mandi-mandi di telaga biru. Tapi, selesai mandi malah kehilangan selendang karena dicuri lelaki desa, Jaka Tarup seperti legenda Babat Tanah Jawi.
LISA cemberut karena udara panas membuat make up di wajahnya meleleh terkena keringat sendiri. Sehingga, pesonanya meluntur. Sementara, sapu tangan atau minimal tisu entah dimana untuk sekedar mengusap wajah sebelum dibersihkan dengan semestinya.
Rambut LISA yang semula hitam mayang, berangsur-angsur kusut bagai tak pernah disisir karena sisir juga entah dimana. Sorot bola matanya kuyu, tak lagi tajam menatap ruang remang sudut kota. Senyumnya hambar karena sepasang bibirnya yang semula merah delima, pucat mengering.
Gerak langkah kakinya yang saat louncing lincah melenggak-lenggokbagai pragawati di atas catwalk, melemah seperti tanpa arah. Sehingga, mata lelaki yang semula seperti tak ingin berkedip memandang, beralih ke arah langit yang ternyata berkelambu mendung.
Karena situasi itu, ada temannya teman saya berstatus lelaki tulen yang melangkah pelan di seberang jalan depan kantor DPRD, sempat bertanya kepada rerumput tanah lapang H Adam Malik yang bergoyang ditiup angin sepoi-sepoi, “Ada apa gerangan?”
Masalahnya, sampah mulai berserak di beberapa lokasi dan menjadi tempat yang nyaman bagi laler untuk kenduri sambil bersenda gurau. Dan, saat hujan tiba, genangan air di badan jalan, bingung mengalir kemana karena lobang saluran ke parit tersumbat.
Padahal, saat LISA diluncurkan, para Camat dan Lurah tak segan masuk parit. Korek tanah berlumpur dan sampah yang mendangkalkan parit. Tujuannya, agar air berwarna hitam bercampur minyak kotor dapat mengalir lancar dan tidak banjir. Sehingga, ikan gobi atau ikan buricak mudah berkembang dan bebas meliuk-liuk lincah.
Selanjutnya, di benak temannya teman saya yang semula bertanya “Ada apa gerangan?” itu, menemukan hipotesa di trotoar bahwa program LISA hanya musim-musiman. Selain para camat atau lurah mulai enggan lagi mengajak anggota turun ke jalan, LISA ternyata tidak didukung berbagai sarana dan prasarana. Terutama soal pengadaan tong sampah atau bak sampah yang mudah dijangkau.
Karena situasi tersebut, ada lagi temannya teman saya bilang bahwa temannya sempat bingung saat memungut sampah plastik bekas isi ikan asin di jalan yang tak jauh dari depan rumah dinas Wali Kota. Bingung karena tak tau kemana sampah dibuang.
Kalau dimasukkan ke saku, takut terjadi penyalahgunaan saku karena saku bukan tempat sampah. Apalagi baunya tidak enak dipenganggu. Tapi, mau di bawa-bawa untuk dibuang lagi ke tempat sampah, jaraknya jauh. Maka, daripada daripada dan dengan berat hati, terpaksa dibuang ke parit atau selokan.
Setelah sampah dibuang, temannya teman saya itu akhirnya berpikir sendiri sembari bertanya dalam hati, “Kalau banyak melakukan LISA dan sampah dibuang ke parit, kodok burtong tentu ramai bersuara untuk mengundang hujan yang kemudian mendatangkan banjir, terus bagaimana?”.
Pertanyaan itu akhirnya sulit dijawab sendiri. Namun, karena jawabannya menimbulkan Tanya dan tiada guna ditanay kepada rumput bergoyang di lapangan H Adam Malik, temannya teman saya itu akhirnya kembali bertanya, ”Jangan-jangan LISA hanya gerakan semusim?”.
Memang, LISA sedang hangat diperbincangkan meski tak sehangat isu mutasi di lingkungan Pemko yang kabar-kabarnya akan dilakukan dalam waktu dekat. Pasalnya, isu itu hanya untuk kalangan internal tetapi akhirnya tercium keluar karena ada buang angin.
Selanjutnya, angin menyebar ke delapan penjuru. Meski terasa tidak nyaman dipenganggu, kalangan tertentu di internal itu tetap antusias mengamati arah angin karena siapa tau namanya ada disebut-sebut meski itu juga masih khabar angina. Padahal, angin tak terlihat tetapi terasa saat berhembus.
Kembali kepada masalah LISA. dari delapan kecamatan se Kota Siantar, yang masih tampak bergairah sebenarnya di Kecamatan Siantar Barat. Bahkan, sebutan “Ojo Kendor” tidak hanya slogan semata. Siang dan malam hari, malah tetap melakukan kegiatan.
Namun, kalau hanya memungut sampah, tentu kurang atau malah tidak ideal membersihkan kota Siantar karena berapalah kemampuan genggaman tangan memungut. Kemudian, berapa banyak juga warga Siantar bersedia melakukan LISA. Sedangkan masyarakat juga masih ditemukan seenaknya membuang sampah di tempat sembarang.
Kemudian, kalau program LISA targetnya mengarah untuk meraih piala Adipura sebagai lambang supremasi kota terbersih se Indonesia, tentu perlu didukung. Hanya saja, bicara Adipura bukan hanya soal kebersihan. Tapi termasuk menata kesemrautan. Sehingga, target meraih Adipura tidak hanya pura-pura.
Terlepas dari ada kura-kura dalam perahu dan kura-kura jangan diganti dengan kambing hitam, perbincangan warga Siantar mengkritisi soal LISA, sejatinya karena memang perduli kebersihan. Tak ingin make up di wajah LISA yang luntur karena keringat sendiri, dibiarkan hingga akhirnya menjadi daki. Sehingga, tampak semakin cemberut dan masuk parit.
Kalaupun ada sapu tangan atau tisu untuk membersihkan make up di wajah LISA yang dianalogikan sebagai seorang gadis, jangan pakai sapu tangan atau tisu kotor berdebu. Karena, wajah itu bukannya bersih. Sebaliknya, semakin kotor.
PENUTUP
Andai LISA sepakat dianalogikan sebagai seorang gadis, usianya memang masih belia. Tapi, kalau menyinggung tentang gadis belia, jadi teringat lagu Band Jamrut beraliran cadas sedikit underground yang sempat edengan penggalan lirik bait pertama, ”Putri/Gadis belia yang baru melek/Jadi liar karena ingin keren/Dan dibilang trendi”. (Penulis alumni Fisip Komunikasi UISU)
Discussion about this post