KEKERASAN Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan tindakan yang menyebabkan penderitaan fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran dalam lingkup keluarga. Bentuknya meliputi kekerasan fisik seperti pemukulan, kekerasan seksual, kekerasan psikologis melalui intimidasi atau kontrol, serta kekerasan ekonomi. Perbuatan ini tidak hanya merusak kesehatan fisik tetapi juga berdampak pada mental dan emosional korban.
Menurut Evan Stark, ahli dalam studi kekerasan rumah tangga, KDRT bukan sekadar tindakan kekerasan fisik, melainkan strategi sistematis pelaku untuk mengontrol korban melalui ancaman, manipulasi, dan intimidasi. Konsep “coercive control” ini memperlihatkan bahwa KDRT adalah bentuk dominasi yang merusak martabat dan kebebasan korban. Di Indonesia, KDRT masih menjadi masalah serius, sebagaimana tercatat dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023. Sebanyak 674 kasus kekerasan terhadap istri dilaporkan sepanjang tahun tersebut, mencerminkan bahwa KDRT belum mendapat penanganan optimal.
Dampak KDRT yang Luas
KDRT membawa dampak serius bagi korban, baik fisik maupun psikologis. Secara fisik, korban dapat mengalami luka, rasa sakit, bahkan kecacatan. Secara psikologis, dampaknya lebih mendalam, termasuk trauma berkepanjangan, depresi, rendahnya rasa percaya diri, hingga keinginan untuk bunuh diri. Kondisi ini diperburuk oleh ketergantungan ekonomi terhadap pelaku, yang membuat korban sulit keluar dari situasi kekerasan.
Selain itu, budaya patriarki yang mengakar di masyarakat memperburuk situasi ini. Perempuan sering dianggap subordinat dalam keluarga, sehingga kekerasan terhadap mereka dianggap sebagai masalah privat yang tidak perlu campur tangan pihak luar. Stigma ini menjadikan korban enggan melapor atau mencari bantuan, sehingga pelaku terus merasa bebas melakukan tindak kekerasan.
Bentuk-Bentuk KDRT
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mengidentifikasi empat bentuk utama KDRT: 1.Kekerasan Fisik: Termasuk pemukulan, penamparan, atau tindakan lain yang menyebabkan rasa sakit atau luka. 2.Kekerasan Psikis: Melibatkan penghinaan, ancaman, atau perlakuan yang merendahkan martabat korban. 3.Kekerasan Seksual: Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan atau dengan cara yang merendahkan korban. 4.Penelantaran Ekonomi: Tidak memberikan nafkah yang layak kepada anggota keluarga.
Meski UU PKDRT sudah menjadi landasan hukum, namun implementasinya masih menghadapi banyak tantangan, seperti kurangnya pemahaman masyarakat tentang hak-hak korban dan minimnya akses korban terhadap bantuan hukum.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Untuk mengatasi KDRT, pemerintah harus meningkatkan upaya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Kampanye melalui media sosial, seminar, dan pelatihan dapat membantu mengubah stigma bahwa KDRT adalah urusan privat. Edukasi ini juga penting untuk meningkatkan kesadaran bahwa KDRT dapat menimpa siapa saja, terlepas dari gender atau status sosial.
Selain itu, pemerintah perlu memperkuat layanan perlindungan korban, seperti rumah aman dan konseling psikologis. Layanan ini harus mudah diakses oleh korban, terutama di daerah terpencil. Komnas Perempuan, sebagai lembaga yang berfokus pada isu ini, dapat bekerja sama dengan organisasi masyarakat untuk memberikan pendampingan hukum dan psikologis secara gratis kepada korban.
Peningkatan Penegakan Hukum
Penegakan hukum terhadap pelaku KDRT juga harus diperkuat. Aparat penegak hukum perlu diberi pelatihan khusus tentang sensitivitas gender agar dapat menangani kasus KDRT dengan lebih profesional. Proses hukum yang cepat dan transparan akan memberikan rasa keadilan kepada korban sekaligus memberikan efek jera bagi pelaku.Pemerintah juga dapat mendorong pembuatan peraturan daerah (Perda) yang mendukung pencegahan dan penanganan KDRT sesuai dengan konteks lokal. Perda ini dapat mencakup alokasi anggaran untuk program pencegahan KDRT dan pelatihan keterampilan bagi korban agar mereka mandiri secara ekonomi.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia yang berdampak luas pada korban dan masyarakat. Upaya penanganan harus dilakukan secara komprehensif, melibatkan pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil. Dengan langkah nyata seperti edukasi, perlindungan korban, dan penegakan hukum yang tegas, diharapkan angka kekerasan dalam rumah tangga dapat diminimalkan, menciptakan lingkungan yang lebih aman dan bermartabat bagi semua anggota keluarga.(***)
Penulis Adalah Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Medan