“Maling…!! maling ……!!! Maling !!! “ teriak seorang ibu yang tentu saja mengundang perhatian tetangga. Langsung saja mereka berhamburan keluar rumah untuk menuju datangnya asal suara tadi. Tentu langsung saja penuh orang berdatangan di halaman rumah perempuan separuh baya tersebut.
Ternyata ada 3 orang pemuda tanggung, usia sekitar 16 atau 17 tahunan, yang sedang tertunduk lesu, dengan gantungan di lehernya tali pengikat sebuah papan kecil dengan sebuah tulisan “SAYA MALING KELAPA” Ketiganya begitu pasrah tanpa perlawanan, ketika ibu separuh baya itu menangkap basah ketiganya sedang menurunkan kelapa sebelah rumah ibu tersebut tanpa izin alias mencuri.
Tiga teman mereka berhasil melarikan diri, sementara identitas merekaa sudah diketahui, maklum hasil introgasi ibu- ibu lebih tajam dari kepolisian manapun.” Emak- emak kok dilawan”
Begitu malu yang mereka tanggungkan, mereka seolah telah mewakili ayah, ibu, adik, kakak, paman, kakek, nenek dan kerabat lainnya dalam melakukan kenakalan tersebut. Seolah merupakan kesalahan yang sangat besar yang harus ditanggungkan bersama keluarga besar mereka.
Sungguh tiga butir kelapa yang ia curi seolah lebih besar dosanya dibanding kejahatan orang lain yang sebenarnya lebih fatal. Seperti : mabuk-mabukan, atau berzina dengan isteri tetangga yang selalu berakhir dengan uang perdamaian. Pada hal bila kita mau jujur, dosa orang meninggalkan shalat itu jauh lebih besar daripada berzina atau sekedar mencuri 3 truk kelapa.
Mencuri merupakan perbuatan yang tercela dan sangat dilarang dalam agama, namun cara memberikan hukuman dengan menggantungkan papan dengan tulisan tersebut bukanlah hal yang mendidik, tapi justru sangat tidak manusiawi dan termasuk bar-bar main hakim sendiri yang sangat terlarang di Negara hukum seperti Indonesia, juga menurut ajaran Islam itu tidak boleh.
Kita juga tidak tahu, apakah tindakan main hakim sendiri ini sebagai wujud ekspresi masayarakat yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap institusi Pengadilan atau Kehakiman atau karena akumulasi kejengkelan terhadap pencuri yang seolah aman- aman saja berseliweran di lingkungan mereka.
Hukuman potong tangan bagi pencuri dalam Islam, bukan berarti dilakukan semena- mena. Yang menghukum juga adalah Negara, warga masyarakat tak memiliki hak sedikitpun untuk melakukan ekskusi bagi pelaku kejahatan. Disamping keberadaan saksi, besaran barang curian juga situasi dan kondisi masuk dalam segenap pertimbangan hakim. Bukan hantam kromo, seolah semua orang dapat bertindak melakukan hukuman atau main hakim sendiri. Sungguh bukan perbuatan yang terpuji.
Qishas juga berlaku, yaitu orang yang membunuh tanpa sebab wajib dihukum bunuh, dan yang melakukan qishas adalah Pemerintah atau Kehakiman. Namun Qishas dapat saja dibatalkan, jika keluarga atau ahli waris memaafkan. Lalu hanya dengan 3 butir kelapa, begitu dahsyatnya hukuman yang harus diterima oleh maling amatiran (siang bolong curi kelapa, buah dijatuhkan dengan suara keras) tersebut, ini sebuah ironi kebebalan pola pikir.
Di bulan Ramadhan ini, ketika pintu rahmat dibuka, pintu keampunan dilapangkan oleh Allah SWT, sudah sepantasnya kita juga membuka kedua tangan kita untuk memaafkan mereka, lalu menasehati mereka dan membimbing mereka, karena mereka juga masih belia yang butuh sentuhan nilai- nilai agama atau nilai- nilai ruhaniyah.
Hadits Nabi SAW “ Tidaklah seseorang menutup aib orang lain di dunia, maka Allah akan menutupi aibnya di akhirat kelak” (HR. Muslim).
Jika kita memaknai hadits Nabi di atas, bahwa menutupi aib saudara kita merupakan sebuah kemuliaan, tentu saja kalau kita negasikan maksud hadits di atas boleh diartikan sebagai : jika kita mengobral aib saudara kita, maka Allah pasti akan obral juga aib kita di akhirat kelak. Artinya” tiada maaf bagimu” tentu dimaksudkan orang yang di dunia suka pamer kebusukan orang lain.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk melegalisasi pencurian, yang pasti kita harus proporsional dalam melakukan tindakan, sehingga kita tidak gegabah dalam melakukan tindakan.
Namun jika kita berkenan menelisik aib diri kita masing- masing , tentu kita tidak akan berani tampil di hadapan orang lain, karena begitu banyak aib- aib yang menyelimuti diri ini. Apa lagi sampai menebar aib orang lain, tentu tidak akan pernah kita berani melakukannya.
Hari ini aib- aib kita ditutupi oleh Allah Sang Maha Pengampun, supaya kita segera bertobat dan memperbaiki diri. Lalu apa urgensinya jika kita menjadi penyebab tersebarnya aib orang lain.
Rasulullah SAW bersabda “Setiap umatku dimaafkan, kecuali orang yang terang-terangan dalam bermaksiat. Yaitu seseorang yang telah berbuat dosa di malam hari lantas pagi harinya ia berkata, bahwa ia telah berbuat dosa ini danitu , pada hal Allah telah menutupi aibnya . Malam hari Allah tutupi aibnya, pagi hari ia sendiri membuka aib yang Allah telah tutupi” (HR Bukhari- Muslim)
Maka marilah kita menjadi orang selalu membentangkan tangan, melapangkan dada untuk memaafkan orang yang melakukan kekeliruan, sungguh tidaklah hal itu terjadi, jika tidak ada izin dan kehendak Allah SWT. Maaf itu melapangkan rezeki, menguatkan iman dan wujud ibadah kepadaNya.
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS Asy-Syura :40).(***)
Asmen, S.Pd.,MM : Pengawas SMK Kemendikbud Sumatera Utara dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Dolok Maraja, Tapian Dolok, Simalungun
Discussion about this post